cerita kemarin di Bochum

Kemarin saya ke Bochum, dengan misi untuk membeli meja dan kursi di IKEA. Saya ditemani rahmi ke IKEA Dortmund yang hanya sepuluh menit naik kereta tapi jarak Bonn-Bochum, harus ditempuh 2 jam lebih naik kereta.

Perjalanan kemarin adalah perjalanan melarikan diri dari Bonn sekaligus menuntaskan misi saya membaca buku yang saya pinjam dari perpustakaan yang harus segera dibalikin.

Sampai Bochum, Ruhr Universitaet Bochum, kami makan siang di kantin kampusnya yang keren sekali. Saya juga janjian ketemuan dengan adik kelas saya yang anak Aceh juga dan dua orang anak Indonesia temannya teman saya yang jadi teman baru saya.

Selesai makan, saya temani rahmi salat di musala kampus. Saya tidak pernah berpikir, di Jerman ini ada kampus yang menyediakan fasilitas lengkap untuk salat (mengingatkan saya pada musala kampus saya di Flinders) dan hebatnya lagi, ada salat berjamaah rutinnya. Saya melihat di tempat salat laki-laki, banyak yang membaca quran menunggu salat (mengingatkan saya pada mesjid kampus saya di IPB). Sungguh tergetar hati saya berada dalam sebuah musala di negeri yang jauh.

Perlahan suara azan berkumandang, mendengar azan live seperti ini sungguh jarang sekali terjadi. Sayang, saya lagi tidak salat jadi tidak bisa ikut berjamaah.

Kata Rahmi, kalau dia ingin berdoa tentang sesuatu hal yang sangat intens, dia memilih untuk salat dan berdoa di musala ini. Sekecil apapun musala, musala adalah rumah Tuhan yang menawarkan kedamaian tak terhingga.

Sambil menunggu  rahmi salat, saya melantunkan doa saya pelan. Doa-doa yang membuat saya merasa lebih tenang.

Selesai salat kami menuju IKEA. Proses pilih memilih kursi dan meja yang paling ringan, yang bisa di gendong naik kereta ke Bonn. Alhamdulillah, saya dapat kursi meja computer yang masih sanggup saya bawa sendirian balik ke rumah dan bisa saya rakit sendiri di rumah.

Syukurlah, di rumah saya, ada pak tukang sejati yang suka bekerja apa saja, Babah saya. Peralatan pertukangannya lengkap dan pekerjaannya rapi. Meski jika bekerja Babah saya lebih memilih adik saya sebagai asistennya, tapi setidaknya saya melihat bagaimana beliau bekerja.

Jadi, ketika di Jerman ini, ketika apapun harus dikerjakan sendirian, saya paling tidak sudah tak canggung lagi. Meski sulit juga dengan kemampuan saya pas-pasan membaca gambar. tapi ada kepuasan tersendiri jika saya berhasil merakit sesuatu. seperti kembali ke masa kecil dengan permainan semacam itu.

Hidup merantau itu tidak boleh cengeng, harus bisa mengerjakan sendiri, tidak tergantung sama orang lain dan harus sanggup mencoba apapun.

Sungguh beruntung suami saya kelak, istrinya ini sangat mandiri dan bisa mengerjakan apapun dengan gagahnya. Hanya saja, kadang dia sangat malas, dan malas itu tidak ada obatnya. Namun, ternyata obat malas itu adalah kepepet, jika sudah kepepet mau tidak mau harus dikerjakan. hahaha
Ini pengalaman pribadi.

ah, saya merindukan seseorang yang bisa membantu saya membawakan barang yang berat, memperbaiki sesuatu, merakit sesuatu buat saya.. hahaha.. curhat colongan.. hahaha..






Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011