Posts

Showing posts from March, 2013

enam bulan bersamanya

Hari ini, sudah enam bulan kami bersama. Ini mungkin hubungan paling serius yang pernah saya jalani, ketika  b egitu banyak yang sudah kami hadapi. Dia selalu bisa membuat saya tersenyum tapi s egala ketakutan dan kekhawatiran juga tetap membayangi. Segala ketidakpastian membuat perjalanan ini semakin menantang. Waktu berlari dengan kencangnya, rasanya baru kemarin ketika saya berkomitmen untuk memberikan seluruh semangat dan harapan, berjuang dengan bersungguh-sungguh.  Berjanji untuk terus berjalan, meski mungkin akan terjatuh berkali-kali.  Bertekad menghapus air mata sebelum sempat mengering dan kembali mengadahkan kepala menatap langit. Sebegitunya saya padanya..  Pastinya ini bukan cinta biasa,  ini adalah pertarungan mimpi yang keras.  sampai hari ini, saya masih memegang janji saya dengan erat. Masih ada dua setengah tahun lagi atau lebih sedikit.  Hingga saatnya mimpi itu teraih... September 2015, tanggal yang tertulis di kartu tanda pengenal yang baru saya perb

ngaji

Salah satu obat kangen kampung halaman, Indonesia tercintaaah yang paling mujarab adalah dengan datang ke Pengajian. Kali ini saya kembali beruntung bertemu teman-teman setanah air yang sangat komit membina silaturrahmi meski berada di negeri yang jauh. Sebulan sekali kami berkumpul dan saling bertukar kabar. Bonusnya makanan khas tanah air, berlimpah ruah, dan bisa dibungkus untuk dibawa pulang untuk lauk makan malam.  Satu lagi kebahagiaan saya datang ke pengajian, bisa main dengan bayi-bayi lucu yang pasrah saja dipindah tangankan dari satu gendongan ke gendongan yang lain. Atau ketemu anak-anak yang lebih senang berbahasa jerman dan berpura-pura tidak bisa berbahasa Indonesia dan sukses membuat tantenya ini mati gaya tak bisa meladeni casciscus jermannya yang medok banget. Kerennya lagi, saya terdaftar di tiga kegiatan pengajian. Pengajian gabungan ibu bapak, pengajian ibu-ibu saja, pengajian kelompok, dan jadi guru TKA. Kadang saya gak bisa hadir karena jadwalnya bertabrak

Musim semi tak mampir di Bonn

Bukankah Maret kita begitu meriah? Salju turun, di saat kita kehilangan harapan melihatnya lagi Butirannya menjadikan hati kita hangat Lalu saling mengingat ketika butir pertama jatuh di jendela penghujung Maret, ketika musim semi tak kunjung datang kembang terlalu malu untuk mekar dan salju mungkin akan datang lagi, satu waktu, entah kapan mungkin kita akan berdiri di depan jendela,  saling mengingat dan mendoakan.. Mungkin, Maret kita itu, seperti "... salju yang terlalu cepat berlalu"

best friend ever

tadi pagi sempat chat sebentar dengan iwan sebelum ke kantor.  Iwan, sahabat paling gila yang diberikan Tuhan. Teman menggosip paling seru, teman curhat paling keren. selalu punya stok soundtrack untuk semua cerita saya. Iwan yang membuat saya jadi pendiam, karena dia lebih terlalu cerewet, membicarakan ini itu. Iwan, mak comblang yang tak pernah sukses, hingga akhirnya kehabisan persediaan abang baik hati untuk dijodohkan dengan sahabatnya yang manis ini. lalu ketika waktu berjalan, jarak terlalu jauh, semua serba buru-buru. hanya bertukar sedikit kabar, me-like foto, dan komen seadanya.  then, sampai kapanpun kami masih sahabat baik. meski saya gak tau dia baru operasi usus buntu, ah padahal dulu, dia makan apa aja saya tau. I'm sorry my best friend..

siomay memory

sepiring siomay ini memang tak seenak batagor yang sore itu saya santap sepiring berdua dengan nenek di Bandung. Tidak ada maksud kami menjadi mesra dengan berbagi piring, hanya karena harganya sungguh fantastis untuk sepiring jajanan, kami memutuskan untuk hanya sekedar mencicip. Hingga akhir petualangan kami dengan siomay dan batagor, semakin kami mengakui batagor depan factory outlet itu sungguh keterlaluan enaknya. sepiring siomay malam ini, yang bahannya saya beli tadi sore, dan resepnya yang didiktekan lagi oleh si akhi, pastinya lebih enak dari siomay ibu RW di pengkolan Bateng. Tapi tetap saja, wangi siomay si ibu lebih harum, menggoda perut yang kelaparan setelah berjalan jauh dari perikanan sampai grawida. Rasanya aroma siomay itu masih tersimpan dalam ingatan, meski rasanya tak sepadan dengan harumnya. demi sepiring siomay, dapur mungil saya berantakan, dan saya terduduk kekenyangan. Tak lupa saya mengirimkan foto siomay made in daku buat Dian di Stuttgart, kapan-kapan k

anak lelaki itu..

cuma dia, dia yang menarik pipiku ketika terlalu gemas dan membuatku meringis anak lelaki moody itu yang dengan semena-mena mengambil alih kamar masa remajaku, mengisi dan membuatnya seperti kapal pecah dengan beragam barang maskulin yang bertebaran dengan ganasnya anak lelaki yang sok bijaksana itu juga tahan berjam-jam mendengar cerita cinta dodolku, lalu komentar bodrex-nya menjadikan cerita yang sungguh dramatis itu menjadi lucu dan bisa ditertawakan seenaknya anak lelaki bodoh itu juga, terlalu bodoh untuk jadi lulusan terbaik dengan ipk mendekati sempurna, di institut sastra tempatku tertatih-tatih menimba ilmu dan sekarang, anak itu terlalu sibuk memunguti kata, menulis seribu lima ratus sekian sekian, butiran kata dipungutinya satu-satu, dan terbatuk-batuk karena kata-kata itu membuat otaknya terlalu critical memandang apapun dia, anak lelaki yang aku rindukan, yang pas fotonya terselip rapi di dompet merahku, dengan senyum seadanya, dan tampang yang terlalu imut unt

andai

andai waktu bisa dimasukkan ke dalam botol, aku ingin memasukkan satu-satu, botol bening, bekas madu, yang telah dicuci berkali-kali tapi masih saja beraroma madu mengatur kenangan hati-hati, mengambilnya dengan pinset dengan seksama, memastikan semua diletakkan pada tempat yang tepat pelan menyusunnya dengan hati-hati dalam lapisan-lapisan warna pelangi untuk semua yang terlanjur manis, dalam tatap, kata dan perbuatan lalu botol itu akan aku tutup rapat, menyimpannya di depan jendela kacaku, sehingga pendar pelangi itu terus bersinergi dengan cahaya keemasan matahari musim semi yang tak kunjung mampir andai, botol itu nyata adanya, aku tak perlu terus berlarian, memungut butiran kenangan, dan menghirupnya pelan-pelan andai..

she was in Bonn

Akhirnya tadi saya melambaikan tangan, membiarkan kereta IC itu membawa Ai kembali ke Hamburg dan saya melangkah turun mengejar U-bahn di Gleis 3 atau 4. 10 hari yang penuh cerita, tawa, jalan, kue dan cerita. Ai yang saya biarkan sendiri meng-eksplore Bonn sementara saya berkutat dengan urusan kampus hingga malam. Ai yang saya tinggal tidur karena saya terlalu capek seharian dijejali materi. di antara, waktu-waktu itu, kami sempat juga ngopi, jalan, makan, memanggang kue, shopping dan tidur siang. sesi curhat-curhat panjang dimana dan kapan saja, membantu saya membuang sedikit penat dalam galau memandang hidup. cieee, segitunya ya, setidaknya dua minggu lagi, Insya Allah bisa bertemu di Göttingen dalam duek pakat anak Aceh se-jerman. atau liburan-liburan lain yang masih kami rencanakan. Auf wiedersehen Ai, untuk 10 hari yang menyenangkan, kapan-kapan ke Bonn lagi ya..

direbus

Back to office setelah dua minggu berkutat dengan PhD block course. Kembali duduk menghadap layar lebar dan jendela yang menyajikan pemandangan sungai Rhein. Langit masih biru, tapi udara membeku, dan musim semi belum juga datang. Banyak yang saya pelajari di block course ini, bukan hanya tentang indikator, framework dan methodology, tapi juga tentang standar. Standar untuk seorang PhD student yang harus terus membumbung, dalam kesempurnaan berpikir, berbicara dan menulis- dan saya merasa sangat desperate karena belum berada di sana. saya hanya -PhD student jadi-jadian- belum matang. ibarat telur, mungkin saya belum terlalu lama direbus. masalah rebus-merebus ini membutuhkan jam terbang yang tinggi, dalam hal berpikir kritis dan membaca yang banyak. dan ketika saya berinteraksi dengan mereka dalam dua minggu yang seperti direbus itu, saya tau, mungkin saya masih punya waktu meng-upgrade diri. then, semangat harus dikumpulkan lagi. jalan masih panjang, field research di depan

my lovely weekend

weekend kali ini, sebenarnya saya ingin di rumah saja. Bermalas-malasan setelah dua hari terasa capeknya nongkrong di kantor. Namun, nasib berkata lain. Cucian yang menggunung setelah tiga minggu tak bertemu mesin cuci, memanggil-manggil mesra. Sementara dua minggu ke depan PhD block course sudah mulai dengan intensifnya bahkan pada hari sabtu. Mau tak mau saya harus mencuci meski koin untuk si mesin habis terjual kata si induk semang, artinya saya harus mencari tempat mencuci yang lain. Pilihan mencuci akhirnya jatuh pada si "akhi" yang baik hatinya. Meski artinya saya harus membangunkannya agak pagi dan menggendong cucian ke sana. Acara cuci mencuci ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Hari sabtu ternyata hari mencuci baju nasional di Bonn. Beberapa kali kami turun bolak balik, ngantri mesin cuci dan pengeringnya dan masih diselingi nyelipnya si kartu yang harus dicari dengan seksama beberapa saat. in between acara cuci mencuci ini, ternyata banyak yang bisa di

back to office

Setelah hampir dua minggu tidak masuk kantor karena sakit, akhirnya hari ini saya kembali duduk manis di depan meja dan layar komputer. Hari ini kami hanya bertiga saja di ruangan karena tiga rekan yang lain sedang jauh dari kantor. Cuaca hari ini bagus sekali sehingga kami memutuskan untuk makan siang di kantin BMZ sambil menikmati pemandangan sungai Rhein yang romantis. Satu jam makan siang, percakapan seadanya, pizza vegetarish, dan salad.   Saya membayangkan semangkuk bakso atau mie goreng tentulah lebih menggoda. Selesai makan siang, kantuk mulai menyapa. Teman saya membuat secangkir kopi dan aromanya membuat saya sedikit terjaga. Sementara batuk dan pilek ini masih enggan meninggalkan saya. Tak lupa saya minum obat yang saya bawa dari rumah. Terbayang wajah pak dokter THT yang tersenyum, Insya Allah seminggu sudah sembuh katanya. Kembali bercengkrama dengan research yang semakin posesif, membuat perasaan saya campur aduk, membiarkan   jurnal, buku catatan dan s