Posts

Showing posts from August, 2012

minimalis

Sebuah tulisan di blog http://mnmlist.com/walk-away/ sungguh sangat menginspirasi saya. Tulisan ini intinya mengajak kita untuk hidup sederhana, apa adanya, dan setiap saat mengevaluasi apakah semua yang kita miliki memang kita butuhkan atau hanya sekedar pemuas keinginan. Saya pernah berdiskusi dengan ndut tentang, sebenarnya berapa banyak celana yang kita butuhkan? Kalau kata ndut, kalau mau jujur, satu saja sudah cukup. Cukup warnanya hitam, sehingga tidak ada yang notice bahwa seminggu celana itu dipakai setiap hari. Kalau mau amannya, dua potong celana. Sudah lebih dari cukup. Waktu saya mengikuti ospek di IPB, saya harus memakai rok hitam setiap hari. Keadaannya waktu itu hampir sama dengan saat ini. Saya hanya membawa satu koper ke Bogor dan saya cuma punya satu rok warna hitam. Maka setiap hari saya memakai rok hitam itu. Kalau rok itu sudah kotor sekali, pulang kuliah langsung saya cuci dan jemur. Segala kreativitas dilakukan agar rok itu kering dan bisa dipakai lag

Fantasy please be my friend

Jalan-jalan keliling Dortmund dengan bis itu, membuat saya mengantuk sangat. Berusaha untuk tidak tertidur, namun apa daya, beberapa kali saya mendapati diri saya terbangun dari tidur. Penjelasan si Bapak tentang objek-objek yang kami lihat di jalan seakan pembacaan dongeng pengantar tidur yang sungguh merdu. Namun diantara tidur, bangun, setengah tidur dan setengah bangun, ada beberapa petuah si Bapak yang membekas di hati saya. Kata-kata itu dikatakannya ketika tour hampir berakhir dan saya coba mengingatnya baik-baik. “Sesulit apapun kehidupan yang akan dihadapi, sebanyak apapun masalah yang akan ada, janganlah pernah kehilangan fantasi.” Kalau saya mengartikan fantasi  ini adalah sedikit kesenangan hidup, sedikit imajinasi, sedikit mimpi, sedikit keceriaan dengan menikmati hal-hal yang memberikan kebahagiaan.  Suatu keyakinan yang ada dalam diri bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk mewujudkan impian. Lalu menurut si Bapak, fantasi ini bisa didapat dari jalan-j

dimana...dimana...dimana..

Kemarin, 27 Agustus 2012, sepertinya harus dicatat baik-baik. Kemarin adalah hari pertama saya berkesempatan luntang lantung sendirian di Zentrum naik turun U-bahn seorang diri mencari alamat. Ah dimana.. dimana..dimana..  Hampir sebulan ini saya selalu jalan bersama teman, selalu mencari sesuatu bersama, tersesat bersama, dan mengambil keputusan bersama. Barulah kemarin ketika harus mentransfer uang jaminan (kaution) untuk tempat tinggal saya dan saya harus mencari bank untuk menukar uang (dibekali dolar dari rumah setelah guling-guling ngotot minta uang saku) ke euro. Orang rumah saya mengerti,  semakin banyak uang yang saya bawa berbanding lurus dengan kemungkinan saya bershopping ria. Maka membekali uang dengan mata uang lain adalah taktik yang sangat bagus. Hahaha.. Maka diujilah kemampuan navigasi gps “feeling” ketika berjalan keluar dari stasiun. Saya tidak membawa peta dan gps BB saya tidak berfungsi di sini. Tak berapa lama gps “feeling” ini menyerah dan memohon saya

Cerita Lebaran Kami di Dortmund

Tulisan ini saya tulis karena setelah sesi skype 2 jam-an dengan sahabat saya uci, dia lupa menanyakan tentang lebaran saya di Dortmund tahun ini. Begini ceritanya, Beberapa hari sebelum lebaran, teman-teman yang berjenis laki-laki, yang selama tiga minggu di sini berbuka puasa dan salat di Mesjid Taqwa Dortmund sudah bertanya-tanya tentang dimanakah kami akan salat. Mereka sampai mengirimkan email ke pengurus mesjidnya, dan Alhamdulillah dijawab secara email dan secara langsung. Oia, saya mau cerita tentang teman-teman saya yang selalu bersemangat bercerita tentang menu buka puasa di mesjid ini yang sungguh enak dan banyak. Kadang-kadang makanan tersebut masih bisa dibungkus dan dibawa pulang untuk kami. Sehari sebelum lebaran, kami sudah mulai memasak lontong (lontong sachet yang harus direbus 3 jam lebih) dan teman-teman. Berhubung masaknya pake kompor listrik maka jadi semakin lamalah memasaknya. Masalah lontong ini sebenarnya hanya tradisi dan sedikit bisa jadi pelip

tentang makanan di negeri yang jauh

Makan, sehari kita makan tiga kali. Buat saya masalah makan ini sungguh penting. Saya termasuk orang yang kalau lapar gak bisa mikir hehehe.. Pengalaman malang melintang sebagai anak rantau lebih dari 12 tahun, masalah konsumsi ini harus dimenej dengan baik. Kalau masih dalam wilayah Indonesia dan sekitarnya, membeli makanan adalah hal yang paling praktis tetapi kalau sudah agak jauh dari garis khatulistiwa, mau gak mau, kita harus masak sendiri. Selama ini saya selalu dihadiahkan teman serumah yang rajin memasak dan baik hati. Kali ini sepertinya harus single fighter dalam mengatur menu setiap hari. Berhubung beras mahal di Jerman dan program pengurangan berat badan maka mungkin ini kesempatan baik buat saya terlihat lebih langsing. Hanya saja satu sisi, harga keju, susu, roti, yoghurt, dan cokelat yang enak-enak itu sangat murah meriah. Kata si ndut, dia yakin saya akan gendut di sini, ketika saya berpura-pura berkeluh kesah bagaimana nasib saya jauh dari tahu dan tempe. Sa

semusim

Pagi ini cuaca sudah mulai sejuk. Seminggu kemarin, panas sekali di sini. Hampir 40 derajat. Dua pagi di kelas, semua orang mengeluh tidak bisa tidur karena kepanasan. Topik pembuka pembicaraan yang sungguh tepat, bicara tentang cuaca dan hari. Suasana kelas sungguh meriah, baju-baju musim panas dengan warna-warna cerah mendominasi. Semua dalam mood yang baik, membicarakan rencana jalan-jalan, rencana berenang dan aktivitas outdoor lainnya. Minggu pertama saya datang, jaket tak pernah lepas dari genggaman. Minggu kedua jaket kadang dipakai kadang ditenteng. Minggu ketiga, jaket disimpan (ditendang) rapi dalam lemari. Kota ini cepat sekali berubah-ubah moodnya. Kadang sendu dan kadang meriah. Mau tidak mau semua terikut dalam gerak suasana hati langit. Kalau saya tetap memfavoritkan hujan rintik-rintik dan langit biru muda. Beberapa kali saya disuguhi pemandangan seperti itu dan sangat bahagia karenanya. Pergantian musim ini, katanya sungguh ekstrim perubahan suhunya.

sepotong sepotong

Ketika hari terlalu gerah dan  terlalu panjang Menguapkan rasa dalam percakapan sepotong sepotong Penasaran mencari  dimana kita akan menyerah atau tak akan menghilang pada angkuh Ketika : aku berhenti bertanya karena kamu sama sekali tak menjawab (Meski  sepotong-sepotong) Begitu saja, menggantinya dengan senyap yang dalam

a lovely Ramadhan

Apa saja amalan Ramadhanmu ini sahabat? Waktu masih di Banda, saya berkata pada diri saya, nanti kalau sudah di DE saya akan lebih rajin shalat dan tilawah, karena pasti tidak akan kepanasan meski tidak ada AC. Ramadhan kali ini memang sangat panas di Aceh hingga harus shalat minta hujan. Ketika sampai di sini, dalam beberapa hari penyesuaian waktu siang yang terlalu panjang dan jam biologis yang amburadul (alasan) saya meninggalkan salat terawih dan witir. Lalu perlahan mulai mengatur strategi buat menjalankan salat sunat di bulan Ramadhan itu. Membaca al-Quran yang sejak saya di Haji belum khatam juga karena sehari Cuma satu halaman saja. Namun godaan buat online sungguh tak terelakkan. Maka lebih banyak mungkin saya di depan laptop daripada duduk tenang dan bertilawah. Ketika jauh seperti ini, sungguh saya mengerti, satu-satunya pertolongan yang paling besar hanya dari Allah Swt. Bulan Ramadhan yang sungguh penuh berkah ditempat yang jauh ini memberikan saya kesempatan bua

wanted : home sweet home

Dua minggu ini saya habiskan dengan duduk di depan laptop membuka-buka iklan rumah atau apartemen satu kamar di Bonn. Ternyata susah menemukan yang sesuai dengan budget saya. Saya harus menaikkan budget saya untuk rumah dan barulah saya menemukan beberapa pilihan. Lalu dengan bahasa jerman seadanya saya mengirimkan email atau nekat menelpon. Sungguh terlalu, menelpon dengan bahasa jerman seadanya itu. Beberapa berhasil dengan percakapan yang mengalir dengan baik dan beberapa berakhir dengan telpon yang ditutup karena saya tidak mengerti apa yang dikatakan si landlord. Rupanya itu pula mengapa kami dikursuskan bahasa hampir setahun agar supaya bisa saat-saat seperti ini memakainya dengan bersungguh-sungguh. Alhamdulillah saya diberikan sahabat baru yang baik, yang mau membantu saya, mulai dari ikut mencarikan iklan yang sesuai, membuat janji dan melihat kamar tersebut, mendatangi yang punya asrama dan menanyakan ada kamar kosong untuk saya, sampai menawarkan meminjamkan uang m

bianglala

Image
Ketika lusa lalu saya dan teman-teman mengunjungi satu lagi pasar malam yang riuh rendah di Dortmund, tiba-tiba teringat pengalaman bertahun lalu pengalaman pertama mengunjungi keramaian sejenis. Malam minggu itu, saya baru pulang les dari LIA Bogor di BS. Tidak sendirian pulang kali itu karena ada seorang adik kelas yang les juga di tempat yang sama. Biasanya kami pulang berdua, makan malam dulu karena kalau tiba di Darmaga penjual makanan sudah tak ada lagi. Setelah menghabiskan satu porsi nasi goreng dan bercerita panjang lebar (konon adik kelas saya itu akhirnya memilih pindah dari IPB dan jurusan yang sesuai dengan bakat berkomunikasinya yang luar biasa di UI) kami naik angkot pulang. Tengah jalan menuju Darmaga, tiba-tiba kami melihat keramaian pasar rakyat. Spontan dia mengajak saya turun dan menikmati pasar malam di tengah sawah itu. Kami turun dan bergabung dengan masyarakat sekitar. Penjual bakso, kacang rebus, dan kembang gula. Anak-anak berlarian. Pe

berkenalan

Ternyata butuh waktu untuk mengenal. Bahkan untuk berkenalan dengan sebuah kota, entah berapa lama akan jadi karib. Kota ini dalam dua hari yang aku kenal, hanya sebatas jendela kamar dan sepotong balkon. Gerak-gerik tetangga di seberang rumah, kadang terekam pelan. Kadang jendela itu ditutup tirai saja, maka kota ini hanya sebuah kamar yang karib dengan laptop dan selimut. Beberapa hari kemudian, berkenalan dengan jaringan kereta yang sungguh rumit. Berjalan menuju stasiun kereta, membeli tiket di mesin, menikmati laju dan berganti kereta. Duduk manis menikmati pemandangan dari balik kaca, mencoba mengingat semua detil agar tak tersesat nantinya. Butuh waktu juga untuk memberanikan diri memenuhi undangan berbuka di kota sebelah. Berteman dingin ketika salah turun stasiun dan kembali menikmati perkenalan dengan pusat kota, ketika harus berjalan pulang karena sudah lewat tengah malam. Pelan-pelan mengingat arah dan belokan, membuka mata melihat hal-hal menarik dan menikmati ha

weather forecast, meine Herz

Angin dingin dan mentari yang menyambut terik. Sudah tiba di negeri yang jauh. Menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Memandang langit yang biru dalam senyap yang tak biasa. Bunga warna-warni bermekaran di balkon tetangga. Jendela yang besar dan jalan yang sunyi. Hati merajuk di sudut. Dimana aku, ketika harap tak lagi ada dan semua tampak tak jelas. Ini bukan awal seperti pikirku, ketika tak ada ucapan selamat datang berhari-hari. Hanya hening, aku tak disambut di sini. Malam ini aku mencoba mengetuk hening dalam basa basi yang seadanya.  Mungkin awal ini memang akhir. Aku ingin biasa tapi sepertinya aku tak pantas. Puluhan ribu jarak yang terpotong bukan semakin menuju, tapi semakin menegaskan, hati telah berubah. Maka sisa musim panas kali ini terasa seperti musim dingin yang beku.

Perjalanan kali ini

Perjalanan kami berdelapan ke Jerman, tak seperti yang tertulis di itinerary. Setelah seharian menghampar di lantai ruang tunggu international Polonia, terburu-buru berbuka puasa, dan salat maghrib lalu hujan turun dengan derasnya. Penerbangan semula ditunda hingga akhirnya dibatalkan. Cap pertama yang dibubuhkan imigrasi medan ditimpa kembali dengan satu cap cancel. Malam itu pesawat tak jadi lepas landas membawa kami. Koper dikembalikan, dengan sisa hujan di atas koper. Lalu dua malam sehari di Kuala Lumpur dihabiskan cepat sebelum akhirnya malam itu berangkat menuju Frankfurt. Sempat terkagum-kagum dengan mesjid negara di kuala lumpur yang megah dan mencoba jalur kereta yang sungguh mewah. Pelan-pelan mengakui, kita sudah terlalu tertinggal dalam segala hal yang terlihat. Pagi menuju Dortmund dengan barang-barang yang banyak sekali. Turun naik kereta, turun naik tangga, koper 20 kg itu mesti diangkat dan ransel yang terasa semakin menghimpit punggung. Bukankah tak ad