Posts

Showing posts from February, 2012

membaca Madre

Kumpulan cerita “Madre” itu dititipkan endut yang sudah selesai membacanya ketika terbang. Tak sempat terlirik, tapi semalam ketika saya ingin membaca, saya mencarinya diantara tumpukan barang-barang di lemari kos saya yang sempit. Membacalah saya, pertama: Madre. Terbawa dalam kalimat yang dirangkaikan Dee penuh seluruh. Mengalir mengikuti kata per kata menemukan keindahan dan kesederhanaan. Selesai Madre saya berpindah ke “Menunggu Layang-Layang”. Seketika terkenang si gadis pengejar layang-layang saya. Ah dimana dia sekarang. Mungkin langitnya tak lagi begitu biru hingga tak satu layang-layang ingin terbang di sana. Terpekur sejenak membaca cerita yang sangat menyentuh. Beberapa kata membekas dalam dan membuat saya berpikir, aha, harusnya saya bisa menulis seperti ini. Bagus, cerita yang nyata, cinta yang ada, saya suka. Masih menyimpan mimpi bisa menulis yang sederhana dan mudah. Masih ada. Suatu saat, saya akan menulisnya, dan Dee akan menuliskan sedikit kata pengant

menulis lalu lupakan

Ternyata salah satu obat stress saya yang paling ampuh adalah menulis blog seadanya ini. Ketika saya tiba-tiba ingin menulis, walau lampu sudah dimatikan dan selimut sudah dikibarkan, saya tak bisa menolak. Saya harus segera menghidupkan laptop lalu duduk menulis. Saat seperti itu saya mengalah saja pada jari-jari tangan yang menari di atas keyboard, gerakan yang tak terlalu cepat dan tak terlalu lambat ini membantu kepala saya membuang sebagian beban, membuang sampah pikiran yang mungkin sudah menumpuk. Kadang hari yang sesak bukan karena hal besar yang menyebalkan. Hal-hal kecil yang tak sesuai hati malah membuat kepala penuh karena perdebatan tak ada ujung pangkalnya. Menulis membuat saya lebih ringan dan mendamaikan hati saya. Buat saya, menulis lebih mudah daripada berbicara, lidah suka tak kompak dengan hati dan pikiran. Maka malam ini dengan ditemani lagu-lagu dari playlist yang saya susun khusus untuk menulis blog, saya menuliskan semua ini. Sekedar membuang gerah

renungan menjelang ujian

Ujian-ujian itu datang silih berganti. Waktu berjalan begitu cepat. Berapa banyak kata yang sudah terekam dalam memori, berapa banyak kata yang diucapkan terpatah-patah, berapa banyak soal latihan yang sudah dikerjakan, berapa PR yang telah diberikan, tak pernah menghitung. Konon, faktor umur berpengaruh (kata teman baru saya) dalam proses penyerapan dan pemahaman yang terkadang membuat saya “tergugu”, mengutip kata-katanya : “ D(a)l(a)m les  memang mesti b(a)ny(a)k  sabar. Kita belajar b(a)h(a)s(a) Jerman dari nol di usia y(an)g (s)udah ga(tidak) 'terlalu' muda lagi u(n)t(u)k belajar bahasa, jadi wajar kalo(au) agak kewalahan. Dulu waktu saya les selama kurang lebih 9 b(u)l(a)n juga (be)gitu, ditambah lagi faktor bosan k(a)r(e)n(a) tiap hari les, plus hausaufgabe(PR) y(an)g ga(tidak) sedikit.   “ Maka malam ini menjelang prufung ablegen (ujian) ituuh, saya sudah menghabiskan dua bungkus coklat,  sekotak martabak, makan malam dan sejumput kripik pisang coklat.

perempuan meriah

Kalau saya akhirnya dengan suara terbatas ikut koor alias paduan suara, apa sebenarnya yang dicari? Ya, kapan lagi bisa nyanyi trus nampil dengan hanya mendaftar tanpa dites harus bisa baca not balok. Masuk TV, nyanyinya diiringi piano, dan lagunya keren. Kalau saya masih diijinkan teriak-teriak ikut game yang seru. Melempar bola tanpa kena satupun kaleng-kaleng yang disusun itu dan masih dapat tepuk tangan yang meriah. Akankah saya hanya berdiri menonton saja? Kalau saya bisa memilih mau gambar apa yang akan dilukis di wajah saya dengan modal nomor antrian? Kenapa saya tidak mencoba? Kalau saya bisa berfoto-foto dengan narsisnya dan berteman dengan remaja remaji yang baru lulus smu itu tanpa merasa jengah, apakah saya akan menjaimkan diri? Tentu saja, saya akan melakukannya. Bukankah begitu banyak hal yang bisa dilakukan dan dinikmati. Sekedar merasakan kemeriahan, kebebasan, dan menjadi diri sendiri.  Sedikit keberanian untuk mencoba hal-hal baru,  maka dunia sa

waktu akan menyembuhkan semua luka

Akhir-akhir ini saya dipaksa untuk mendengarkan lagu dengan lirik dalam bahasa yang sedang saya pelajari. Menurut saya, beberapa memiliki musik yang aneh dan jujur, sisanya tidak pas dengan selera musik saya. Sudah liriknya njelimet tambah pusing dengar musiknya yang tak terbayangkan. Hanya saja, lagu yang judulnya, waktu akan menyembuhkan semua luka itu, berbeda. Saya suka dengar suara penyanyinya dengan kemampuan mengucapkan kata r terbatas. Huruf r berkarat itu terdengar sangat seksih. Terlebih liriknya yang saya setuju banget-banget. Ya, waktu (die Zeit) menyembuhkan (heilt) alle (semua) Wundern (luka). Aha, das stimmt. Ya, mungkin luka ini cuma waktu yang bisa menyembuhkannya. Entah luka apa aja, namun setelah si vokalis teriak-teriak : vorbei vorbei vorbei (terlewati..lewat..lewat..)... ya pasti terlewati. Ya, kita semua pahlawan (wir sind Helden) buat diri kita, namun kita masih membutuhkan waktu untuk membantu kita menyembuhkan luka. Ah, tak bosan-bosan mendengar lagu

perjalanan sepi menggapai mimpi

Detik-detik terakhir ketika saya berpikir, bisa menarik nafas sedikit, datanglah pertanyaan itu. Apakah universitas yang meluluskan saya akan diakui oleh Universitas yang saya akan masuki. Mau tidak mau saya mencari tau. Bertanya dan mengumpulkan informasi. Ternyata proses pencarian supervisor bukanlah sesuatu yang paling menghebohkan ke depannya akan ada banyak kejutan-kejutan lain. Satu yang saya pahami dalam perjalanan sepi ini menggapai mimpi, adalah jangan pernah panik. Jalan terbentang hanya saja, apakah kita mau mengambil risiko, bertanya dan mencari. Lalu ketika semua itu terlalu berat, akan banyak pertolongan, jika kita mau meminta. Beberapa orang akan senang hati menolong dalam kecepatan yang tak disangka-disangka. Sangat cepat, bahkan orang-orang yang belum pernah bertemu dan berkenalan. Tanpa pamrih menolong dan membukakan pintu yang sebelumnya terkunci rapat. Pertolongan-pertolongan yang ikhlas seperti itu sebenarnya adalah jalan Allah yang diteruskan, ketika

pada kotamu yang teduh

Matahari hampir hilang ketika kutinggalkan kotamu Rinai hujan merenda jendela dan lampu mulai menguning berpijar Rekatkan semua senyum yang masih saja mengingatkanku pada sebuah taman menghadap laut biru duduk membaca buku dan mengurai mimpi yang terapung-apung pada kapal di ujung cakrawala Pada kotamu ini akan aku kembali, memunguti remah kemarin membungkus kilat-kilat pada pohon berkelimpahan oksigen dan rumah-rumah tua teduh dalam ingatku masih pada senyum itu dan pendar sayap perakmu, aku menanti, setiap kali selamat tinggal untuk bertemu kembali.. @Bandung, satu akhir pekan yang berhujan.

Nenek dan Yayang ..

Ketika saya menginjakkan kaki di Kota itu, yayang tersenyum menjemput saya di stasiun. Perlahan menaiki tangga kos-an dengan terengah, nenek menyambut, dengan baju kaos yang sama, celana training kebanggaannya, tertawa-tawa penuh arti, “Gimana lautnya sar ?” Pertanyaan favorit nenek setiap saya kembali dari Banda Aceh menuju Sabang. Kali ini bukan laut yang saya arungi, jalan tol sepanjang-panjangnya. Bukan pula naik kapal, hanya naik travel dekat rumah. Dimana kami ini? Kenapa kami ada di Kota ini? Kenapa kami bisa berkumpul kembali, keluarga kecilku yang penuh kehangatan : Nenek, Yayang dan Saya. Maka tak berhenti saya bermanja, Yayang dan Nenek yang baik hati, cucumu ini sungguh kangen. Terima kasih sudah menyambut dengan penuh kasih sayang. Serasa pulang, tempat dimana tak pernah merasa sendirian, tak ada kesulitan yang terlalu dan semua kata yang selalu didengarkan. Cucu gendut, makan tumpah-tumpah dan suka minta jajan ini begitu bahagia dapat menjadi dir

mengingatMu penuh seluruh..

Riuh kelas, tugas berpasangan membuat dialog, terpana sejenak melihat tulisan Bismillah di atas kertas yang putih bersih, catatan kursus seorang teman.. “Kenapa ?” tanya saya, “Iya mbak, kalau gak ditulis suka lupa baca Bismillah kalau mau mulai belajar”. Mengangguk-angguk pelan, benar juga, menuliskannya, sambil mengucapkannya dalam hati. Makan siang yang terlambat, Foodcourt riuh, sepotong kebab dan roti pita, di depan saya, gadis manis diam mengangkat tangannya, syahdu membaca doa makan sebelum mulai mengunyah, “Kenapa kak...” tanyanya melihat saya yang menatapnya sungguh-sungguh. Semangkuk Bakso di atas meja sudah tuntas dari tadi tanpa doa. Perpustakaan, beberapa buku terbentang  berhimpitan di atas meja, guru saya sibuk mencarikan contoh soal untuk ujian menulis, “Paling penting itu berdoa, jangan lupa berdoa. Minta agar dimudahkan setelah bersungguh-sungguh berusaha...” Sudahkah saya meminta agar semua ini dimudahkan? Ya Allah, sungguh aku

super senior

Mungkin semua mahasiswa baru (khususnya yang kuliah seangkatan saya atau di belakang saya) merasakan suka duka dalam hubungan senior-junior. Senior lebih jelasnya adalah kakak tingkat yang harus dihormati dan dipatuhi perintahnya sepenuh hati karena selalu benar khususnya dalam masa orientasi. Setelah masa ospek berakhir, biasanya hubungan senior junior menjadi lebih santai. Malah senior bisa jadi teman, apalagi kalau ada beberapa mata kuliah diambil bareng. Setelah tak ada kabar berita untuk beberapa waktu lama, salah seorang senior saya yang galak sekaligus senior favorit saya ketika masih sangat menggemaskan (kuliah), menelpon tadi sore. Kami bertukar cerita, dalam kisah sedih dan bahagia. Bernostalgia, ketika saya hanya seorang praktikan yang memaksa sang koordinator asisten memberikan rahasia  hewan-hewan yang tak bertulang belakang itu yang hidup di air. Sayalah praktikan yang suka iseng minta bocoran soal kuis praktikum karena terlalu malas mempelajari materi praktikum. M