Posts

Showing posts from March, 2012

menerjemahkan lagu

I want you to noticeWhen I am not aroundYou think you’re so specialI wish that I were specialI am a creep I am a weirdoWhat the hell I am doing hereI dont  belong here (Creep, RadioHead) Ya, kamu tidak terlalu “spesial” sebenarnya Namun, dua tahun ternyata hampir aku terayun-ayun menjadi seseorang yang aneh Melakukan hal-hal yang tak terbayangkan Agar aku bagimu “spesial” Hingga kehilangan momen untuk menyadari aku tak akan menjadi sempurna untukmu ketika kamu tak menyadari Aku tak ada lagi di sana..

Singgah di Perpustakaan

Perpustakaan itu milik seorang yang punya koleksi buku yang sangat banyak. Saya tidak tau, apakah itu dulu rumahnya, atau memang dibangun khusus untuk perpustakaan. Ndut yang mengajak saya mampir ke sana. Entah apa yang dia cari. Meski akhirnya kami berdua berdiri di depan rak buku bertema adat istiadat Aceh. Banyak ternyata buku tentang Aceh. Beberapa masih dalam ejaan lama. Begitu terpesona dengan gambar dan foto yang sangat artistik. Sungguh terpana dengan kekayaan adat istiadat warisan leluhur. Koleksi buku yang entah dimana bisa ditemukan lagi. Buku-buku itu sungguh istimewa. Rasanya waktu berhenti di ruang perpustakaan itu. Dua kakek yang terkantuk-kantuk membaca koran. Seorang bapak penjaga perpustakaan dengan mesin ketiknya yang riuh.  Seorang mahasiswi yang sibuk mencatat dari buku-buku yang terbuka lebar dihadapannya. Dua orang kakak beradik yang lalu lalang, membuka menutup buku, mengambil mengembalikan, menyusuri rak, ya itu saya dan ndut. Banyak buku di rak

pesta

Kemarin pagi, tak direncanakan, saya berjalan-jalan dengan sepupu-sepupu saya di tengah teriknya matahari kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh semarak sangat dengan hiasan wajah para calon gubernur dan walikota. Pilkada kali ini terasa cukup meriah. Warna-warni, senyam senyum, dan janji-janji. Bukankah sungguh semarak? Buat saya, gambar-gambar itu terlalu mahal. Poster, baliho, stiker, dan semua-semua itu, pada akhirnya menjadi sampah. Apakah tidak ada cara lain berkampanye tanpa mengotori lingkungan dan mata? Kami mengabadikan momen ini. Berfoto-foto dengan latar belakang foto kandidat. Sekedar merekam suasana dan janji. Pada Akhirnya toh, janji tinggal janji dan rasa tak pernah terpuaskan. Ketika amanah diberikan, waktu dibentangkan, maka kerja dan tunaikanlah janji pada rakyat. Kali ini, ingin saya cuma satu, ingin pilkada Aceh yang damai. Tak terlalu muluk dan semoga tak terlalu sulit terwujud.

10 days summer

Maka tertegunlah saya, ketika tante itu masih mengenali saya. Sejak umur berapa saya mulai jadi pelanggan sarapan paginya yang enak. Lontong sayur, nasi gurih, mie besar, mie kecil, ketan dengan gula merah, lupis, dan yang saya paling suka, sesekali dia suka menjual kue apam dan bakwan. Mungkin sejak sekolah dasar, dengan uang dan pesanan yang harus diingat, berapa bungkus nasi pakai ikan apa, atau lontong ditambah lupis beberapa. “ini sari, kan...” sapanya penuh semangat. “Mau beli apa sari...” Saya masih diperlukan seperti anak kecil itu, yang harus mengingat dengan seksama pesanan orang rumah. Lalu mengalirlah obrolannya, penuh semangat. Saya lebih banyak senyum dan menjawab pendek-pendek. Mata  tak lepas memandang hidangan penuh selera. “Iya tante, kalau pulang, harus jajan di sini, kangeeeen..” Entah kangen apa yang terobati ketika membeli sarapan paginya. Ya, hanya saja, sedikit nostalgia, melirik kiri kanan jalan kampung ini yang semakin hijau menuju rumahn

terlalui

Sore ini, saya harap-harap cemas menunggu hasil ujian dikirimkan melalui email. Perasaan yang tak terlalu yakin akankah kali ini saya lolos. Mengingat jawaban ujian yang acak kadut dan kemampuan berbicara yang seadanya. Berhari-hari meyakinkan diri, kalau tak lulus tak apa-apalah. Memang belum mampu, memang segitu kemampuannya, ya wajar kalau tidak lulus. Berbicara dengan diri sendiri, membujuk merayu, menyiapkan mental. Tetap saja, saya kepingin lulus. Teringat kembali sesi-sesi persiapan ujian. Betapa saya tak ingin menyerah dalam semua pikiran-pikiran yang tak penting datang di saat tak tepat. Ya, semua terlalui, Alhamdulillah. 

Damailah selalu..

Pagi yang mendung. Ibu saya memutuskan untuk di rumah saja. Hari ini katanya akan ada Demo menolak kenaikan BBM di Banda Aceh. Sebenarnya hari ini saya dan ndut berencana untuk mengumpulkan data untuk bahan menulis saya, tapi hilang lenyap semua keinginan itu. Maka kami bertiga di rumah saja. Menghidupkan TV dan sesekali memindahkan saluran jika hati tak terlalu kuat menahan rasa. Mungkin kami tidak ingin melihat semua gejolak itu di TV. Membaca berita di surat kabar lokal tentang keriuhan PILKADA. Berdoa dan berharap ini hanya tahapan yang memang harus dijalani tanpa dikhawatirkan. Menunda-nunda pergi ke pasar untuk membeli sekarung dua karung beras untuk persediaan yang entah untuk apa. Menghindar dari pembicaraan tentang kemungkinan terburuk karena masih percaya semua akan baik-baik saja. Maka hari ini, dalam mendung langit dan mendung hati kami, kami di rumah saja. Mencoba memejamkan mata, melupakan dan membuang semua prasangka. Semoga Aceh selalu damai. Semoga Indone

sahabat-sahabat jiwa

Dari awal, meski hijau, dia mengaku menyukai abu-abu. Die Graue Frau, ya mungkin banyak sekali perempuan abu-abu di dunia ini. Saya termasuk salah satunya. Perempuan yang tak terlalu putih tapi tidak hitam. Mungkin itu yang membuat saya dekat dan merasa nyambung. Saya menyadari sebenarnya ‘anak’ ini jauh lebih dewasa daripada kakaknya ini. Cita-citanya, ketabahannya menjalani hidup, dan kisah cintanya yang indah membuat ceritanya sangat menarik. Perjuangan hidup mengharuskan kita memilih, untuk kalah atau maju jalan. Teman sebangku saya ini yang bermurah hati meminjamkan PR nya buat saya salin atau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang berulang-ulang dengan sabar, mengajarkan saya untuk lebih bersyukur dengan semua yang saya miliki.  Ibu guru muda ini datang ke Jakarta dengan beasiswa. Banyak muridnya yang ditinggalkannya dan dia menunda melanjutkan ke level yang lebih tinggi demi kembali mengajar. Saya menghabiskan masa-masa persiapan ujian saya dengannya di perpus, berlatih

sabar

Saya ingat waktu kuliah dulu, setiap acara wisudaan saya selalu menyempatkan diri melihat acara wisudaan. Meski hanya dari jauh, meski hanya sambil lalu. Terkagum-kagum melihat jubah hitam dan rumbai yang melambai-lambai dari toga. Bunga ucapan selamat yang berwarna-warni. Hiruk pikuk keluarga pengantar wisuda. Suasananya sungguh meriah sekaligus mengharu biru. Saya selalu berkata pada diri saya, akan tiba waktumu. Akan tiba, bersabarlah.  Lalu satu persatu kakak kelas yang saya kenal diwisuda, lalu teman-teman seangkatan, kakak kosan, dan lalu tibalah giliran saya. Rasanya ternyata seperti itu. Terlalui dengan rasa bahagia yang membuncah. Perjuangan dan penantian tak ada yang sia-sia. Maka tadi pagi, dalam heningnya suasana yang syahdu. Pelan saya melihat teman saya duduk di kejauhan. Gaun putihnya berkilat, kerudung menjuntai menambah kerlip di wajah. Perasaan itu muncul kembali, perasaan bahwa suatu saat saya juga akan duduk di sana. Dalam getar suara ayahanda dan sahut pa

Demi..

Salah satu tujuan saya pulang kali ini adalah balik ke dokter kulit setelah dua bulan konsul terakhir. Sore tadi untung-untungan saja singgah di tempat prakteknya. Ternyata saya beruntung, pasiennya tak terlalu banyak. Biasanya kalau tak mendaftar sejak pagi atau sehari sebelumnya harus menunggu sampai tengah malam giliran konsul. Maka saya duduk dengan manis menunggu sembari mengingat-ingat sejak umur berapa saya jerawatan. Ternyata jerawat mulai mampir ketika remaja. Semua obat jerawat pernah dicoba, pembersih muka, sabun cuci muka, sampai odol. Saat-saat sangat desperate dengan jerawat saya suka memencetnya. Maka semakin parahlah kondisi muka saya. Saya mulai berobat ke dokter kulit dengan serius ketika sudah bekerja. Sampai akhirnya menemukan si Bu Dokter ini yang obatnya lumayan canggih mengusir jerawat. Sejam kemudian saya mendapati diri saya berdiri di depan kasir. Konsultasi sepuluh menit itu, memaksa saya mengorek-ngorek isi dompet. Ah, serasa habis dirampok. Emp

Pulang

Matahari terik membuat keringat bercucuran.  Siang yang panjang dan terang. Mata ingin terpejam, mimpi membawa lari semua gerah.  Daun-daun menguning debu berterbangan. Suara kipas angin, berputar mencari keseimbangan antara gerak dan harapan.  Aku menatap langit yang kembali biru, meski terhalang kaca jendela.  Ah, pulang selalu saja memberikan kesejukan, meski kali ini panas membakar kota ini dan hujan belum sempat menyapaku, meski sesaat. 

eins drei zwei

eins Berapa lama menunggu, tiga baris yang seadanya Datar, sedatar mimpi yang tak pernah terlalu penuh Bermekaran bunga di musimmu, angin berhembus kencang di sini Lieber Schatz, musim kita tak akan pernah sama.. drei Jakarta, ketika kakimu menjejak, tak ada aku Lalu kembali pada kotamu, tanpa pamit Semaumu Semauku, sudahi saja.. zwei Bandung,  sapamu penuhi kotak Sebaris dua baris, pada hari yang gerah Berteman aksara yang riuh, tak pernah jadi nyata Sibuk, menahan rasa dan perih...

selamat pagi semua !

Beberapa minggu ini saya semakin membenci suara weker yang tiap pagi memaksa saya membuka mata saya yang indah ini. Hahaha.. Suara weker itu pertanda saya harus bersiap-siap menjalani hari yang tentu saja penuh dengan aktivitas yang sudah saya susun sedemikian rupa. Meski bukan seorang artis terkenal, tetaplah menjelang sit in exam, saya harus berbesar hati untuk bersibuk ria. Pagi yang dikejutkan suara weker itu rasanya seperti kopi tanpa gula. Kadang untuk menghindari keinginan hati menarik selimut maka saya mandi karena bisa menghilangkan kantuk. Ah, sebenarnya ini bukan apa-apa. Minggu lalu si melon ke Jakarta. Sebagai calon konsulen yang bersahaja, mau tak mau dia harus mengangkat semua telepon dari sejawatnya yang berkonsultasi tentang keadaan pasien tanpa kenal waktu. Maka terbangun-bangunlah kami karena dering telepon yang semerdu suara weker. Selamat pagi, saya persembahkan untuk semua perempuan-perempuan, yang harus bangun pagi mempersiapkan keperluan keluar

Keumala dan Dia

Entah kenapa saya sangat ingin nonton Film Keumala itu. Mungkin karena settingnya di Sabang. Jalan ceritanya biasa-biasa saja. Jadi luar biasa karena saya punya ikatan batin dengan setting ceritanya.  Terkenang lagi perjalanan kapal laut Jakarta Medan. Mulai dari rebutan naik turun kapal. Kelas ekonomi yang seadanya. Lorong-lorong kapal tempat berdiri sambil mengobrol dengan cowok cakep. Halah.  Dua atau tiga kali saya bepergian dengan kapal laut. Tak terasa dua belas tahun yang lalu saya pertama kali naik kapal dan tak terbayang saat ini bagaimana repotnya berkapal ria. Mama saya sesekali masih ingin naik kapal ke Jakarta, mengenang saat-saat dulu hebohnya perjalanan berkapal kami sekeluarga bertamasya. Ternyata masih banyak orang yang memilih bepergian dengan kapal laut. Mungkin ada seni tersendiri, ada pengalaman yang tak sebanding dengan pesawat terbang. Amazing juga jika mengingat betapa heroik perjalanan naik kapal laut berhari-hari. Apalagi rasa mual ketika digunca

tentang kepala saya, menjelang ujian ..

Seminggu menjelang ujian, kondisi psikis saya menunjukkan tingkat kepanikan yang meningkat beratus-ratus kali lipat. Lebay. Mekanisme pertahanan diri menjelang ujian sebenarnya sudah bisa saya kenali dari gejala-gejalanya. Hanya saja menurut pengamatan saya, gejala ini berubah-ubah sesuai kondisi yang ada. Kalau dulu waktu mau ujian level 1, tiba-tiba saya terserang sakit kepala yang parah sehingga tidak bisa belajar dan harus tidur. Waktu mau ujian level 2, karena masih ada kegiatan masak-memasak, maka saya tiba-tiba harus memasak, memikirkan menu makan untuk beberapa hari. Sibuk memperhatikan isi kulkas dan mengambil giliran orang lain untuk memasak dengan semena-mena. Lalu sekarang H-7 ujian level 3, saya dipaksa jadi pembantu. Tiba-tiba saya harus pergi ke supermarket, memilih cairan pembersih kamar mandi paling super, lalu dengan penuh semangat menggosok dan menyikat kamar mandi. Setelah itu selesai, saya membongkar lemari pakaian saya yang tak bersalah. Sesorean saya duduk

tentang kita, tentang perempuan

Baru kemarin saya menulis tentang Dee dan Madre-nya di blog ini. Sore ini saya berkesempatan melihat Dee tak lebih dari jarak dua meter dalam rangkaian acara Profesional Development Series (PDA), Australia Awards Alumni. Saya kebagian duduk di baris kedua dan di depan saya kosong. Duduk mendengar talkshow “Connection girls, inspiring futures.”  Pembicara lainnya yang tak kalah inspiring adalah Najwa Shihab, Suzy Hutomo (CEOnya Body Shop) dan Ibu Sarah dari Ausaid. PDA ini diadakan dalam rangka hari Perempuan International.  Salah satu sponsor acaranya, majalah kesayangan saya sampai saat ini, majalah Gadis, jadi ramenya anak-anak SMU yang imut-imut. Serasa jadi anak SMA lagi yang galau memilih mau masuk jurusan IPA atau IPS. Pembicaraan tentang perempuan pastinya berkisar tentang Passion, Mimpi, Cita-Cita dan Tantangan. Saya suka sekali mendengar pertanyaan-pertanyaan adik-adik remaji yang sangat sederhana dan apa adanya. Perempuan-perempuan hebat ini  berbagi pengalaman te

Malam itu, mendengar Rafly bersenandung..

Sudah sejak lama saya kenal lagu-lagunya Rafly “Kande”. Apalagi lagu “Meukondroe” yang diperkenalkan sahabat saya ketika saya menulis Thesis. Semangat sekali lagu itu. Waktu itu saya di Adelaide dan sahabat saya kuliah di Prancis. Panjang lebar dia menjelaskan makna lagu itu. Kadang kami menyanyikan lagu itu bertiga, saya, dia, dan Om Rafly. Ternyata, lagu itu sungguh luar biasa ketika dinyanyikan secara live. Tiga lagu yang telah dinyanyikan malam itu, semakin lengkap dengan penutup lagu Meukondroe yang diminta paksa oleh penonton sebagai tambahan. Rafly menyanyi dari hati, semua penonton terbawa. Apalagi saya, serasa kerinduan saya membuncah dan perasaan saya tersampaikan. Tanpa sadar saya bergerak mengikuti lagu. Mungkin ini konser paling berkesan yang pernah saya tonton. Ada ikatan batin dengan lagu-lagu yang dinyanyikan dan Rafly yang sangat “Aceh”. Pesan Rafly tentang perdamaian Aceh, membuat saya terharu. Sungguh saya juga ingin Aceh selalu damai. Cukup sudah saya

terlihat beda atau terlihat cantik ?

Sore itu sahabat saya mendandani saya. Sudah beberapa kali saya didandani, apalagi kalau dulu kami mau tampil menari. Bermodal, beratus-ratus jarum pentul dan kesabaran tiada tara, maka berhasillah saya memakai jilbab yang “beda”. Mata saya diberi eye shadow hitam, istilahnya : smoky eyes. Halah. Lalu bibir ditimpa tiga warna lipstik dengan kombinasi seadanya. Jadilah warna bibir trend 2012. Pipi diberi pemerah dengan ulasan kuas tebal.  Menyerah, tak jua bisa bulu mata dijepit. Eyeliner yang berantakan karena mata berkedip refleks. Selesai berdandan saya minta di foto supaya kelihatan hasil pekerjaan diah di wajah saya. Hasil fotonya, sungguh keren. Saya berubah. Pastinya kelihatan lebih berkilau. Mata menjadi semakin tajam. Model jilbab yang berpentul-pentul itu menyamarkan pipi yang menggembung. Seperti sulap saja. Lalu ketika sahabat saya mengusulkan bagaimana kalau setiap hari saya berdandan. Aha, saya tidak bisa membayangkan betapa repotnya saya melilitkan jilbab itu da

berandai-andai, tentang dia ..

Buat saya, dia seperti sebuah buku Grammatik yang terletak rapi di rak Bibliothek. Mungkin dia bukan buku yang baru, cuma buku lama. Buku yang sudah sering saya buka-buka seperlunya. Mencari-cari jawaban pertanyaan saya karena nilai saya belum pernah sempurna untuk urusan Grammatik. Seperti itu sepertinya dia, dengan sampul yang tanpa cela. Harum semerbak buku mahal. Ilustrasi yang sempurna. Mengundang mata membaca seksama dan jari penuh seluruh membuka lembaran-lembarannya sekilas saja. Pastinya saya tidak akan pernah mengerti tentang Grammatik. Menyelaminya hanya membuat kepala saya pusing. Apalagi memilikinya. Meminjamnya saja saya masih ragu, mampukah saya menjaganya, tanpa ada yang terlipat atau ternoda. Mengingat saya suka sekali menumpahkan sesuatu. Maka cukuplah sesekali saya meminjamnya. Memasukkannya dalam tas saya. Membawanya pulang. Menghabiskan sedikit waktu membuka-buka isinya. Jika telah puas, saya balikkan lagi. Lalu dia akan kembali ada di sana, di rak pa