Posts

Showing posts from March, 2014

Mau tahu aja apa mau tahu bangeeet?

Siang tadi, teman saya Math,  masuk ke ruangan kami. Dia mengantarkan undangan pernikahannya untuk kami. Acaranya masih bulan Juni, tapi sudah diantarkan tiga bulan sebelumnya. Tujuannya mungkin supaya bisa dimasukkan ke agenda secepatnya sehingga lebih besar kesempatan untuk para undangan hadir di acara tersebut. Maka, makan siang Jumat kami, diisi dengan topik tradisi pernikahan. Mereka banyak bertanya soal tradisi pernikahan di Indonesia dan juga sambil berbagi tentang tradisi pernikahan di Jerman dan di Inggris. Soal nikah-menikah ini sungguh menarik, kami membahas banyak hal. Ada hal yang sama, biaya pernikahan dimanapun sangat mahal sehingga benar-benar harus direncanakan secara matang. Sedangkan bedanya, di Indonesia kita mengundang banyak orang, saudara, handai taulan, temannya tante, bosnya si om, tetangganya sepupu, siapapun boleh datang. Kalau di Jerman, mereka hanya mengundang teman dekat saja dalam jumlah terbatas. Bagian paling ngaconya, ketika mereka bertanya, apak

selamat menempuh hidup baru sahabatku

Image
Penghujung Maret, dua orang sahabat saya akan menikah, pada hari yang sama, hari Sabtu ini. Pernikahan mereka sudah dinanti sejak lama dalam proses yang tak mudah, dan akhirnya, momen indah ini terwujud pada saat yang tepat. Sebagai sahabat mereka, saya sangat bahagia. Mereka sudah melewati semua ujian tentang cinta dan kesabaran, semoga pernikahan ini, membuat mereka lebih dewasa dan bahagia. Will you marry me ? Sahabat saya yang pertama, berproses hampir duabelas tahun. Bukan waktu yang sebentar, sejak kami masih duduk di tingkat tiga universitas. Saya mengenal calonnya, karena waktu itu kami satu fakultas. Sahabat saya ini juga selalu berbagi cerita dengan saya, dan meski sejak lulus kuliah kami tak pernah sekalipun lagi bertemu, kami masih berkomunikasi. Maka berita bahagianya ini, membuat saya terharu biru. Akhirnya sahabat saya itu berhasil memenangkan cintanya. Sahabat saya yang kedua, berproses hampir tiga atau empat tahun. Cerita dari awal hingga akhir bahagia ini,

karena waktu

Image
Saya menonton kembali film berdurasi dua menitan itu, entah untuk ke berapa kalinya. Bukan untuk melihat pemeran utamanya, tapi ada seseorang di film itu yang menarik perhatian saya. Belum sebulan, tapi saya mulai lupa wajahnya. Saya bisa melihatnya lagi, dia ada di film itu. Kacamata hitam itu pas sekali di wajahnya. Cara dia tertawa, sungguh menarik. Tangannya selalu bergerak ketika dia berbicara. Semua yang kemudian tertangkap kamera, menghadirkan ingatan tentang dia. Ketika kembali kemari, dia tidak lagi ada buat saya. Bukan karena dia tidak ada saat ini, dia tidak ada saat itu. Buktinya, dia ada di film itu. Bersamanya saya menyadari, waktu adalah komponen yang sangat penting dalam sebuah hubungan. Seberapa lama kita saling mengenal, menentukan jumlah benang-benang halus yang menghubungkan. Waktu membawa kekariban. Waktu tak bisa ganti dengan apapun. Ingatan dan kenangan hanya bisa berjalan beriringan bersama waktu. Harusnya saya mengerti, dia seseorang yang men

tulisan abu-abu

Image
Balik ke Jerman, saya bertemu lagi dengan satu warna yang selalu membuat saya salah tingkah. Warna abu-abu. Sebenarnya, dalam kehidupan sehari-hari, saya paling suka warna abu-abu. Jilbab favorit saya, warna abu-abu. Pakai baju apa aja, kalau bisa, jilbabnya warna abu-abu. segitunya. Abu-abu yang membuat saya salah tingkah, terletak di tengah, antara hitam dan putih. Tidak hitam dan tidak putih. Biasanya, hati nurani saya suka protes kalau bertemu abu-abu. Abu-abu itu ya ketika harusnya putih tapi tidak putih. agak tercampur dengan hitam. Abu-abu itu bukan milik saya saja, terkadang milik orang-orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja berbagi abu-abu. mau tak mau, abu-abu milik mereka, menyapa saya, memperkenalkan diri dan saya berkenalan lagi dengan abu-abu. langit abu-abu, terkadang juga terlihat menarik satu, yang akhirnya kami sepakati, kami di sini, saya dan si ndut adik saya, setidaknya, kami sepakat untuk menerima abu-abu ini. Dalam artian kami tidak akan nge-jud

Auf Wiedersehen Sayed

Image
Saya masih ingat, Oktober 2012, ketika saya di welcome sebagai warga baru di Bonn. Untuk pertama kalinya kami ngopi berempat : saya, Mira, Zuhra dan Sayed. Kami ngopi di McD dan mereka dengan baik hati menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang Bonn. Waktu itu, saya senang sekali. Sahabat di negeri yang jauh pastinya sangat berharga. Saya menganggap mereka adik-adik saya sendiri. Sungguh beruntung, saya punya tiga orang adik yang tinggal di kota yang sama. Sejalan dengan waktu, kami berempat punya banyak "we time" yang sungguh spesial. Mulai dari sekedar ngopi, masak dan makan bareng, escape Bonn, dan berlibur bersama. Kalau lagi suntuk, tinggal janjian buat ketemuan dan memilih aktivitas apa yang paling mungkin buat dilakukan dengan waktu dan keinginan yang ada. Kami bahkan pernah nongkrong di perpus buat ngerjain tesis, tapi tidak lama karena ternyata tidak asyik duduk bareng dan sibuk dengan tesis masing-masing. foto candid mereka bertiga, di salah satu momen esca

Transkrip, I am in Love

Image
Sejak masuk kantor, saya mulai melakukan clearing data saya. Alhamdulillah, transkrip yang dibuat Pipit bagus sekali, kata per kata. Jadinya, saya sangat bersemangat membaca  dan mengedit kembali transkrip interviewnya. Total interview yang saya pilih sebanyak 75 responden. Beberapa ada yang tidak direkam jadi  kelihatan bedanya antara data yang direkam dan dicatat saja. Memang jauh lebih berbobot data interview yang di transkrip. Ceritanya mengalir dan ketika membacanya kita bisa merasakan kembali suasana ketika interview dilakukan. Masih banyak memang yang harus dikerjakan, clearing setelah itu coding dan analisis. Saya belum punya sama sekali petunjuk buat coding. Teori juga lagi dipilih-pilih kembali, mana yang mau dipakai. Dua hari ini saya banyak diskusi dengan teman seruangan saya yang dalam lima bulan saya tinggal sudah berhasil menganalisis datanya dan menulis tiga chapter. Deg-deg-an saya dibuatnya. Omen, paten kali abang tu, benar-benar phd student sejati. Tidak sepert

Back to my normal life

Tidak terasa sudah seminggu saya kembali ke Bonn. Cuaca Bonn cukup bersahabat semingguan ini, hanya hari ini, pagi tadi hujan sedikit. Butuh dua sampai tiga hari untuk membiasakan diri dengan kota ini. Beberapa hal, seperti soal naik bis dan tram, saya lupa. Dimana naik dimana turun, sehingga saya harus benar-benar memastikan saya tidak naik bis atau tram yang salah. Butuh waktu agak lebih lama lagi untuk membujuk diri masuk kantor lagi. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua semangat, saya berangkat juga. Hari pertama, saya tidak bisa masuk ke kantor. Kartu saya ternyata expired, sehingga harus masuk lewat pemeriksaan security dan bolak balik ngurus kartu yang expired. Teman seruangan saya, menyambut dengan sukacita. Mereka tidak sadar, saya sudah lima bulan on fieldwork mission. Saya kembali ke meja saya dan komputer saya. Tidak ada yang berubah. Saya juga sudah punya jadwal konsul dengan supervisor dan presentasi data yang saya kumpulkan kemarin. sungguh berlebihan sebenarnya,

Banda Aceh- Bonn, catatan duapuluh empat jam diperjalanan

Image
Hilangnya pesawat Malaysia Airlines sabtu dini hari minggu lalu, membuat bulu kuduk saya merinding. Jumat siang (7.3.2014) waktu Bonn, saya baru tiba dengan selamat dari perjalanan panjang hampir 24 jam, Banda Aceh-Bonn. Perjalanan ini sebagian besar dihabiskan di atas pesawat, berganti pesawat dan menunggu di lima bandara. 24 jam yang sungguh sesuatu itu berbekas di kepala saya, what if, pesawat saya yang hilang?  Saya berangkat dari Sultan Iskandar Muda airport hari kamis sore, dengan AirAsia. Setengah delapan malam saya tiba di LCCT, ngambil koper saya yang beratnya 29 kg, satu ransel 45 liter dan satu tas yang isinya baju ganti dan peralatan mandi in case kalau terjadi delay, koper saya nyelip, atau celana saya basah, setidaknya saya bisa survive buat dua hari tanpa harus bongkar koper. Setelah itu saya memutuskan naik taksi buat pindah ke KLIA, pengalaman berangkat dari Bonn-Banda Aceh, saya hampir pingsan mengangkat koper saya naik ke atas bis, ditambah ransel dan tas ya

Istanbul dalam puisi

Istanbul, keemasan warna lampu terhujam ke angkasa Alunan musik, melarutkan perih Air mata turun menambah kelam Cahaya lampu tak mampu taklukkan perih Terlanjur namanya merasuk malam, Haruskah aku padamkan kelip senyummu di langit hati Karena aku, harus melangkah Terlalu kikuk menunggu rengkuhan