Perempuan tigapuluh dua tahun ini

Saat ini, saya mulai membuka diri  untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa saya belum menikah hingga saat ini? apakah saya terlalu pilih-pilih? apakah saya mengejar karir? kenapa saya lebih memilih bersekolah daripada menikah? Apakah saya tidak takut dengan usia saya yang semakin tua?

Pertanyaan ini masuk dalam urusan-urusan pribadi saya yang sekarang ini tidak lagi saya jawab dengan tersenyum saja. Saya akan menjawabnya dengan terbuka dan jujur.

Topik pernikahan ini akan selalu dikaitkan dengan usia. Umumnya untuk perempuan Indonesia, tingkat kegalauan belum menikah, semakin bertambah dengan bertambahnya umur. Misalnya, tingkat kegalauan seorang perempuan yang baru berumur duapuluh tahun, seharusnya tidak mengalahkan perempuan yang berumur tigapuluh dua tahun.

Namun, realitanya, belakangan ini, saya berkenalan dengan perempuan-perempuan muda yang baru menempuh tahun pertama di perguruan tinggi tapi sudah menggalau tentang pernikahan. Mereka memiliki keinginan besar untuk segera berumah tangga dan sangat khawatir akan sulit menemukan jodohnya. Hebatnya lagi, mereka sangat terbuka untuk mendiskusikan hal ini, sangat berbeda dengan saya yang tidak nyaman membicarakan masalah ini dengan semua orang.

Saya merasa sedikit bersalah, fenomena ini, saya pikir-pikir, mungkin karena mereka melihat angkatan kakak-kakaknya, angkatan saya, yang masih belum berumah tangga dan bertemu pasangan hidupnya. Jadi, intinya, saya turut menyumbangkan rasa khawatir ini kepada generasi perempuan di bawah saya.

Ternyata, masalah menikah dan belum menikah ini juga menggalaukan kaum laki-laki juga. Semalam teman SMA saya, yang juga masih single fighter, berkunjung ke Bonn. Saya bertanya kepadanya, apakah dia, sebagai lelaki merasakan tekanan yang sama untuk menikah ? Jawabannya sungguh di luar dugaan saya. Menurut beliau malah, lelaki mendapatkan tekanan yang lebih besar, karena laki-laki dilahirkan sebagai calon kepala keluarga.

Selama ini saya pikir, perempuanlah yang paling salah tingkah kalau membicarakan pernikahan, ternyata tidak sepenuhnya benar.

Maka saya tidak mau terjebak dalam permainan kebanggaan diri merasa masih muda, umur belum tigapuluh tahun, sehingga masih bisa santai  daripada perempuan yang sudah dalam masa kritis, warning, dan akan segera diwelcome dalam status perawan tua.

Saya juga santai saja jika mendapatkan diri saya dalam diskusi perbandingan usia, yang secara tidak langsung menjurus memihak pada yang lebih muda untuk jadi pemenang.

Saya sekarang sudah berumur tigapuluh dua tahun, tahun depan akan segera tigapuluh tiga tahun, tahun depannya lagi tigapuluh empat tahun, dan itupun jika Allah Swt memberikan saya umur panjang. Jika tidak, saya tidak akan pernah merasakan pengalaman menjadi nenek-nenek, dan saya sejujurnya, ingin merasakan menjadi seorang nenek yang bersahaja dan bijaksana, haha..

Perempuan memang diharapkan selalu muda, tapi apakah sosok perempuan matang yang mempesona juga kehilangan daya tarik? Tentu tidak, semua manusia memiliki kewajiban jadi lebih baik seiring dengan bertambahnya umur.

Bukannya saya tidak memikirkan tentang hari esok, tapi saya hanya ingin menikmati hari ini saya. Hari ini adalah segalanya dan tidak akan bisa kembali lagi. Kemarin saya  juga sangat bermakna, banyak yang telah saya lakukan, banyak pencapaian yang membanggakan, dan pelajaran yang sangat berharga. Saya menikmati usia tigapuluh dua tahun saya yang sungguh cemerlang, dan sangat bersyukur diberikan jatah tigapuh dua tahun untuk menjalani hidup ini.

Jadi, inilah saya, perempuan, tigapuluh dua tahun, dan belum menikah. Ada pertanyaan tambahan?

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011