tentang konsumerisme dan jilbab kekinian girls jaman now

Jikalau tidak menahan-nahan hasrat untuk tampil keren dan mengikuti trend mode, maka, keinginan untuk membeli jilbab sangat besar sekali menggoda. Seminggu ini, saya mengikuti beberapa toko hijab atau jilbab online di Instagram yang menampilkan berbagai macam jenis kain, model, dan ragam jilbab dengan foto-foto yang menawan dan colorful, dengan model cantik yang meyakinkan siapapun yang melihatnya, bahwa dengan memakai jilbab model kekinian itu, derajat ke-keren-annya naik beberapa kali lipat.

Tidak seperti harga gadget yang jutaan rupiah, harga sehelai jilbab paling mahal 300 ribu rupiah, dan banyak sekali yang harganya jauh lebih murah dan terjangkau.

Hanya saja, seberapa banyak seorang perempuan membutuhkan jilbab atau hijab untuk mendukung penampilannya sehari-hari?

Misalnya, saya dan adek saya, setelah kami tinggal berdua, dan memadukan koleksi jilbab kami, dalam artian, jadi milik bersama, maka jilbab kami memenuhi satu rak lemari. Saya tidak pernah menghitungnya, tetapi mungkin ada seratusan. kebanyakan sudah dibeli beberapa tahun yang lalu dan kami sudah berhenti membeli jilbab, karena semua warna yang diperlukan sudah ada. semua jilbab kami berbahan paris, dengan pinggiran dirajut oleh ibu saya, supaya tidak tertukar dengan siapapun.

waktu saya di jerman, saya hanya membawa sepuluh jilbab, dan itu lebih cukup untuk dipakai setiap hari. semua jilbab kami kualitasnya bagus dan selalu dicuci dengan tangan, dengan deterjen cair, dan diperlakukan dengan hormat karena fungsi jilbab yang sakral.

namun, akhir-akhir ini, dengan melihat instagram setiap hari, dengan berbagai foto model hijab yang manis, iman saya semakin melemah. padahal, jilbab yang saya punya tidak semuanya pernah dipakai sampai puas. apalagi adek saya yang cuek bebek, meski jilbab penuh warna, dia akan memakai jilbab yang paling gampang diambil dan paling duluan dilihat. segitu mirisnya kehidupan kami sebagai perempuan berjilbab seadanya dan tidak mengikuti trend.

saya jadi ingat dengan penelitian seorang teman dari flinders tentang komersialisasi hijab, pergeseran makna, konsumerisme ,dan nilai yang dikandung dalam jilbab atau hijab. meski pada akhirnya semua terpulang pada pribadi masing-masing, akan tetapi tafsirannya selalu ribet dan sangat judgemental. baik sesama perempuan atau ketika laki-laki masuk dalam ranah penilaian hijab perempuan.

Buat saya, ini kembali pada diri saya, pertanyaan-pertanyaan dasar seperti, kenapa saya berjilbab? kenapa saya keren? kenapa saya harus mengikuti arus? kenapa sulit jadi diri sendiri? kenapa saya harus membeli jilbab dengan model seperti itu? kenapa saya punya banyak sekali jilbab? itulah pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya dan berhubungan dengan hijab.

dan tulisan ini lahir karena kegelisahan saya pribadi dan mungkin bisa diredakan sementara dengan unfollow akun instagram dan uninstall instagram. meski tak pernah semudah itu.



Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011