apa yang saya pikirkan tentang apa yang terjadi

Sejak balik ke Bonn, sudah sebulan, tidak banyak yang saya kerjakan. Saya seperti mengalami kembali cultural shock, kembali sendiri dan berjuang untuk phd saya yang tak seberapa ini. Hal ini semakin diperparah dengan todongan memberikan presentasi hasil fieldwork saya di Aceh selama lima bulan. Meski supervisor saya datang dan melihat sendiri, tapi beliau ingin lebih banyak orang yang memberikan masukan untuk mengolah data kualitatif saya.

Sebuah presentasi, bukanlah sekedar presentasi. Presentasi membutuhkan inspirasi, inspirasi adalah kemasan. Ibaratnya saya harus menjual hasil pekerjaan saya, jadi harus kerenlah presentasi saya itu. Harusnya, tidak usah terlalu  dipikirkan, kerjakan saja. Duduk, buka powerpoint dan mulai dari slide satu, dua, tiga hingga seterusnya. sesederhana itu tapi tidak pernah sesederhana itu. Entah apa yang saya tunggu, hingga hitungan hari semakin dekat. Rabu depan, dan saya masih di titik nol.

Namun, bukannya proses kreatif membutukan fase inkubasi, excuse lagi. Dalam dialog-dialog absurd saya dengan frieta, teman saya yang juga sedang berphd ria,  kami semakin merasa terjepit dengan tekanan waktu, sementara belum banyak yang dikerjakan. Belum dan tidak dikerjakan. Tersesat dalam lorong hitam konsep dan daftar yang harus dikerjakan. Semua hanya di kepala.

entah kenapa selalu bersalju di sini

Maka seminggu ini, kepala saya mulai melimpahkan tekanan itu ke anggota tubuh lain. Saya sakit tapi tidak sakit. Saya hanya merasa sakit jika sampai di kantor. Ada-ada saja, kelihatan benar ada sesuatu yang membuat saya tidak nyaman di kantor. Teman-teman saya menyarankan dengan keras untuk pergi ke dokter. Akhirnya saya berpikir, mungkin itu ide yang baik. Maka saya membuat janji dengan dokter senin pagi ini, agar logikanya benar. Sakit maka ke dokter.

Saat-saat seperti ini, yang membuat saya kembali bersemangat adalah melihat ke belakang, perjuangan saya untuk sampai di titik ini. Siapa saya dulu, kenapa saya bisa hari ini berada di sini. Meski perenungan ini malah membuat saya semakin tertekan. Entah nikmat yang mana lagi yang saya dustakan.

Sekali lagi, hidup adalah pilihan. Pilihan saya untuk berada di sini dan mengerjakan research ini dengan harapan yang besar. Konsekuensinya, tantangan ini harus dijalani, pelan-pelan. Bukannya penuh kritik, seperti yang dikomen profesor saya ketika membaca laporan tahunan saya

"Don't criticize your work too much..."

atau ketika beliau bertanya,

"Are you happy with your work, Sari ?"

Saya cuma bisa tersenyum getir, mungkin saya sedang mencari jawabannya sekarang, dalam semua benang kusut di kepala saya dan mengurainya satu persatu dengan kesabaran. Semoga saya bisa melaluinya dengan baik.

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011