suatu hari, di New York

Siang kemarin, saya menelpon sahabat saya Uci. Uci baru pulang konferensi di Washington DC dan sempat jalan-jalan di New York dua minggu lalu.

Cerita Uci, Washington mirip Adelaide, kontur kotanya mirip Bedford Park, suburb tempat tinggal saya dulu di Adelaide. Intinya, Amerika biasa saja, nothing spesial. Mungkin karena kami memang lebih menyukai eropa.

Uci lalu meminta saya menulis sebuah novel tentang perkenalannya dengan seorang perempuan di New York. 

Ceritanya seperti ini :

“Aku bertemu seorang perempuan di Hostel tempat aku menginap di New York. Perempuan ini berdarah turki, muslimah dan tinggal di Jerman. Setiap pagi dia selalu menanyakan padaku, aku kemana aku hari ini. Dia ingin berjalan denganku. Aku tidak keberatan berjalan dengannya, meski aku tau, bisa saja dia mengeksplor kota ini sendirian. Aku juga melihat dia sedang memikirkan sesuatu. Suatu masalah yang cukup berat, hingga membuatnya hanya diam di tram atau sepanjang perjalanan. Aku membiarkannya seperti itu, kami tidak banyak bicara, tapi kami menikmati perjalanan kami berdua yang hening. Hari terakhir, akhirnya dia tidak tahan lagi. Dia menumpahkan semua isi hatinya padaku. Dia bercerita sambil menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya menepuk-nepuk bahunya, agar tangisnya reda. Perempuan itu bercerita dia terbang ke Amerika untuk bertemu seorang lelaki yang dikenalnya hampir empat bulan yang lalu di Jerman. Setelah itu, lelaki itu balik ke Chicago dan mereka tetap berkomunikasi via skype. Ketika perempuan itu berkata kepada lelaki itu dia sudah di Amerika dan ingin bertemu, lelaki itu berkata, dia tidak yakin dengan hubungannya dengan perempuan itu. Lalu, akhirnya mereka tidak jadi bertemu. Maka, perempuan itu patah hatinya. Perjalanan terbang melintasi benua dan menghabiskan seluruh tabungannya untuk menemui pujaan hatinya, berakhir seperti itu saja. Perempuan itu berkata padaku, jangan pernah memberikan terlalu banyak untuk lelaki. Jangan pernah. Entah apa maksud terlalu banyak itu. Pastinya, perempuan itu sudah memberikan terlalu banyak untuk lelakinya itu. Ketika aku harus balik ke Indonesia, perempuan itu memelukku erat dan kembali menangis. Hanya beberapa hari memang pertemuan kami, tapi aku yakin kami, dua orang perempuan, dengan cerita berbeda, memang ditakdirkan bertemu di New York.”  

Setelah uci selesai bercerita, kami membahas cerita perempuan itu dengan serius. Ah, dimana-mana, perempuan selalu saja seperti itu. Setinggi apapun tingkat pendidikannya, warna kulit, ras, dan pekerjaannya, jika berhadapan dengan cinta, tetap saja lemah dan bodoh. Kami mengasihani perempuan itu, lalu kami juga mengasihani diri kami, yang mungkin juga seperti itu.

Pada suatu titik, hidup seorang perempuan memang seperti dalam sinetron, menjadi peran utama yang harus menjalani skenario hidup yang tak terduga dan kadang menyedihkan.

Apapun itu, cerita perempuan ini menjadi pelajaran berharga untuk saya dan uci. Oleh-oleh dari Uci untuk saya dari perjalanannya ke Amerika.


Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011