membawa hati berjalan jalan

Weeekend kemarin, saya mendapati diri saya dengan ransel merah di stasiun Bonn menunggu kereta yang akan membawa saya ke Goettingen.

Keputusan tiba-tiba ini, sebenarnya hanya karena saya ingin membawa hati saya berjalan-jalan. Dalam galau yang panjang dan semua rasa campur aduk, sebelum saya terlanjur meluap dan membanjiri apa yang harusnya tak dikeluarkan, saya memutuskan membawa hati saya berjalan-jalan.

Padang bunga kuning terhampar di kiri kanan, pohon menghijau, sungai mengalir berkelok, tinggi rendah dataran, ternikmati pelan dari balik jendela kereta. Perasaan yang menumpuk perlahan berkurang dan hati menjadi ringan.

Perjalanan seorang diri, delapan jam, pindah dari satu kereta ke kereta lain, menunggu di beberapa stasiun, mendengarkan lagu, membaca buku, sedikit banyak membuat saya lebih tenang.

Biarlah semua mengalir, apalah galau saya ini di bumi Allah yang luas. Ah, saya begitu mengagumi detil ciptaanNya yang sungguh sempurna.

Hingga akhirnya di kota itu bertemu lagi dengan sahabat-sahabat yang baik hatinya, menari, mendengar tabuhan rapai yang membangkitkan semangat, menatap langit, dan kembali pulang.

berganti kereta lagi, melamunkan diri dalam lamunan yang tak ada habisnya, dan tertatih tatih terpincang pincang karena latihan nari yang sungguh intensif, pulang, akankah masih ada ruang di sana,

ketika sekali lagi, lampu merah itu berkedip-kedip


"Bonn hujankah ?" tanyaku
"Sepertinya mau hujan..."  jawabmu

Bolehkah aku pulang ke hatimu..
Hujan di hatiku semakin deras melihat namamu di layar persegi itu..

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011