relativitas perasaan

saya paling senang, kalau saya datang ke stasiun bis, moncong bisnya sudah kelihatan. Tinggal antri atau lari-lari kecil buat naik ke dalam bis. Atau menunggu dua atau tiga menit saja.

paling eneg, kalau ngeliat bis baru aja jalan, seakan-akan ditinggalkan begitu saja. itu artinya saya harus menunggu bis yang lain selama lima, sepuluh menit, atau duapuluh menit. Kalau cuacanya asyik, ya okelah. kalau cuacanya merajuk dan saljuan, artinya menunggu dalam beku.

tapi, itu semua berputar 180 derajat, ketika nunggu bisnya sambil ngobrol-ngobrol sama si mas. Bahkan ketika bis saya datang, saya menundanya, menunggu sepuluh menit lagi, jadi bisa bareng naik bis sama si mas. Lebih lanjutnya, sempat terbersit harap,  bis si mas, bocor bannya, terjebak macet, ngetem di bulan, atau nyasar salah jalan hingga harus mutar jauh baru nyampe ke stasiun.

si mas yang menurut gosipnya pendiam dan pelit kata, kemarin sore bercerita banyak sekali. sampai-sampai saya gak diberi kesempatan buat gantian bercerita. Si mas berbagi cerita tentang researchnya, tikus-tikus di lab, dan  keseharian phd student yang sungguh bodoh dan apa adanya. hingga kami tertawa-tawa dengan hebohnya.





dalam dua puluh menit lewat delapan menit itu, saya kenalan dengan dunianya si mas. not bad, setidaknya, saya mencabut kesan awal si mas itu not so friendly. Mungkin moodnya lagi baik buat ngobrol, atau daripada sama-sama bengong nunggu bis, mending ngobrol.

entahlah, setidaknya ini satu langkah, setelah hanya bisa bertukar senyum, then now we can talk.

sungguh relatif ya suka tidak suka kita terhadap sesuatu, seperti saya yang tiba-tiba menikmati menunggu bis yang sebelumnya sangat tidak suka. Ya, mungkin ini bentuk adaptasi dan coping capacity saya untuk kebetulan-kebetulan yang membahagiakan..

Popular posts from this blog

menulis serius

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011

Mimpi Masa Muda