Autumn in Bonn


Akhirnya, saya menyerah. Seharian melihat layar komputer, membaca, menulis, berpikir, nguap, ngintip2 facebook, baca koran, baca blog, dan sekarang tiba saatnya menyambut akhir pekan yang indah.


Maafkan untuk posting-posting saya yang belakangan melankolis hiper tak proposional, biasalah soal hati, banyak birokrasinya. Mesti diturutin, kalau gak, bakal cari-cari masalah ke divisi lain-lain yang harusnya memerlukan kosentrasi yang lebih banyak.


Saya mau cerita tentang kota Bonn. Sebagai Booner, ehm, bukan bonek ya, yang masih baru, saya masih sering tersesat kalau mau kemana-mana. Modalnya Cuma satu, bertanya. GPS di BB gak bisa diandalin, malah tambah bingung. Alhamdulillah, saya sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa Jerman, meski harus loading agak lama dulu, tapi overall sudah bisa mengerti. Rupanya inilah hikmah setahun berteman dengan bahasa ini.


Bonn itu tidak besar tidak kecil kotanya. Kata teman saya, serupa bandung tempo dulu. Sebagai bekas ibukota Jerman barat, dari segi infrastruktur dan pergaulan Internasional, sangat memuaskan. Kalau lagi di bis, bisa ketemu orang dari berbagai belahan dunia. Meski agak roaming, bonusnya, sekali-kali ketemu orang Indonesia. Senang sekali bisa menyapa dan berkenalan.


Kemarin saya ke kantor walikotanya Bonn, buat silaturrahmi dan mendaftarkan diri jadi warga Bonn. Mbaknya baik sekali dan dia tau Banda Aceh sebagai kota „tsunami“. Pulangnya saya dioleh-olehin buku informasi tentang Bonn dan segepok tiket gratis ke Museum-museum yang ada di Bonn. Sayangnya, saya malas sendirian jalan-jalan, apalagi ke Museum. Berharap suatu saat si ndut datang dan bisa bareng ndut berkunjung ke museum-museum di sini.


Dari jendela „opis“ saya di lantai 27, terlihat hamparan sungai Rhine/Rhein yang membelah Bonn. Jembatan, bukit dan pepohonan yang mulai berubah warna di musim gugur ini. Sayangnya, layar komputer terlalu mendominasi pandangan saya, sehingga sering kali pemandangan ini kurang ternikmati.


Rumah kos saya jauh dari kota. Sekitar 40 menit dari kantor dan butuh dua kali ganti bis. Kadang kalau bosan naik bis saya naik kereta bawah tanah. Sekali-kali belanja ke sebuah kampung yang ada toko arab dan asianya naik kereta yang jalannya di jalan.


Kemarin sempat mimpi naik sepeda, sebagian besar warga Bonn naik sepeda, khususnya yang tinggal di daerah pusat kota. Kalau saya tinggalnya di gunung. Naik, trus dekat hutan, Bonn coretlah. Gak mungkin naik sepeda, demi kemaslahatan umat. Berharap bisa dapat rumah dekat kota jadi kesampean mimpi naek sepedanya.


Bonn, satu kota lagi, yang memberi kesempatan saya merasakan geliatnya. Meski belum akrab, tapi saya melihat ada kemungkinan kami jadi karib. Hanya masalah waktu saja, percayalah..


Dan kalau ada yang singgah ke Bonn, jangan lupa hubungi saya. Saya agak merasa sendirian di sini, bahkan untuk menikmati secangkir kopi, rasanya tak terlalu seru jika sendirian..

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011