Keumala dan Dia


Entah kenapa saya sangat ingin nonton Film Keumala itu. Mungkin karena settingnya di Sabang.
Jalan ceritanya biasa-biasa saja. Jadi luar biasa karena saya punya ikatan batin dengan setting ceritanya. 

Terkenang lagi perjalanan kapal laut Jakarta Medan. Mulai dari rebutan naik turun kapal. Kelas ekonomi yang seadanya. Lorong-lorong kapal tempat berdiri sambil mengobrol dengan cowok cakep. Halah. 
Dua atau tiga kali saya bepergian dengan kapal laut. Tak terasa dua belas tahun yang lalu saya pertama kali naik kapal dan tak terbayang saat ini bagaimana repotnya berkapal ria. Mama saya sesekali masih ingin naik kapal ke Jakarta, mengenang saat-saat dulu hebohnya perjalanan berkapal kami sekeluarga bertamasya. Ternyata masih banyak orang yang memilih bepergian dengan kapal laut. Mungkin ada seni tersendiri, ada pengalaman yang tak sebanding dengan pesawat terbang.

Amazing juga jika mengingat betapa heroik perjalanan naik kapal laut berhari-hari. Apalagi rasa mual ketika diguncang ombak laut cina selatan. Ternyata di Film Keumala, tak banyak yang berubah dari Kapal Kelud itu kecuali sudut wifi untuk penumpang. Dulu Handphone pun tak punya, di film itu para penumpang sibuk dengan handphonenya masing-masing. Hiburan satu-satunya hanya duduk memandang kapal dan senja, senja yang diperebutkan Keumala dan Langit.

Saya suka angle-angle pengambilan gambar Sabang. Sabang banget. Indah dan tenang. Teringat kembali sudut-sudut kota itu yang terjelajahi sesekali. Bahkan mini market tempat saya suka galau mutar-mutar gak jelas dan akhirnya memutuskan membeli es krim juga di shoot. Abang tukang becak yang berkeliaran di jalan Perdagangan. Dermaga tempat saya duduk-duduk menghitung bintang. Bahkan bulan purnama di atas lapangan bola di depan rumah saya terlihat sama bulatnya.

Langitlah yang mengingatkan saya pada dia. Pada rambut sebahunya yang tertiup angin. Matanya yang memohon ijin setiap kali ingin membakar sebatang rokok. Ranselnya yang selalu berat, entah apa saja yang dibawa. Hanya kameranya lebih besar dari kameranya langit. Dia juga tak suka memotret manusia, koleksi fotonya pemandangan saja. Tak pernah mau dia memotret saya tapi tanpa sepengetahuan saya, saya dipotretnya dalam tampang paling jelek. Sepatu coklatnya. Motornya tak sebagus motornya langit, hanya saja tak sudi diboncengnya saya sering-sering karena saya terlalu berat.

Mungkin ini bukan resensi tentang Film Keumala. Ini cerita saya yang tiba-tiba terkenang lagi Sabang dan dia.

  

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011