listen to the radio
Ketika nenek muncul dengan barang-barang saya yang masih saja banyak, saya seperti tak percaya, bukankah semua sudah saya angkut sebelum berangkat dulu? Salah satu barang saya yang dikembalikan dengan hormat adalah radio tape. Radio tape yang sudah saya miliki sejak kuliah dulu menemani saya belajar, teman setia di kamar kos. Selesai kuliah, radio tape ini tidak saya bawa pulang buru-buru. Maka selamatlah dia dari tsunami tahun 2004 lalu.
Waktu mulai bekerja di Sabang, saya mulai jarang beli kaset. Waktu itu saya lagi cinta-cintanya sama Nidji. Yayang sampai bosan dengan mas Nidji yang bolak balik nyanyi “Jika aku jatuh cinta...” Ya Nidji wae Nidji wae..
Seperti penyakit kebanyakan radio tape, tapenya gak bisa mutar kaset lagi. Lagunya terdengar seperti kendor. Biasanya, meski yang salah tapenya tetap saja yang saya pukul-pukul kasetnya. Hingga akhirnya saya menyerah dan lebih suka mendengar siaran radio. Lagi-lagi di Sabang Cuma ada dua siaran radio, RRI dan satu lagi radio yang suka-suka mengudaranya. Lagu terbatas dengan suara penyiar yang seadanya.
Biasanya saya mendengarkan radio sehabis bangun dari tidur siang. Cuci muka atau mandi kalau terlalu gerah, sambil bersiap-siap kembali ke kantor mendengarkan lagu-lagu dari siaran radio Sabang. Kalau lagi beruntung, lumayan, bisa menikmati kangen band. Kalau tak beruntung lagu-lagu melayu mendayu yang tak pernah diputar di televisi.
Lalu siang ini, mendengar radio siaran yang tertangkap di Banda Aceh, mencari acak, tak punya preferen. Hanya ingin mendengar radio ini berbunyi, mencari lagu-lagu yang akrab di telinga, menikmati siang sambil membaca majalah. Seakan terlempar ke masa-masa lalu, saat radio ini begitu setia menemani.