cerita tentang belajar di negeri yang jauh
Kemaren siang, saya dengan penuh tekad bulat menyetrika
pakaian yang sudah kering. Tiba-tiba, hape saya berbunyi, sebuah rangkaian
nomor telepon yang tak biasa tertera di monitor. Saya angkat dengan penuh
prasangka, suara di seberang menyapa hangat. Ternyata telepon dari seorang
sahabat saya dari negeri yang jauh. Setelah tanpa kabar berita selama empat
bulan, sungguh menyenangkan mendengarkan suaranya lagi. Saya sampai terlonjak
dan terpekik, lebay sangat.
Sahabat saya itu mendapatkan beasiswa bergengsi belajar ke
negeri Paman Sam. Cerita-ceritanya mengalir cepat. Cerita-cerita bodoh
sebenarnya. Ah, kepada siapa lagi dia berbagi cerita bodoh kalau tidak dengan
saya. Selama ini cuma saya yang berani berbagi cerita bodoh, sedangkan dia,
selalu menjaga wibawa. Maka kemarin dia pasrah saja saya tertawakan.
Ternyata belajar di negeri yang berjarak 18.000 km dari
Indonesia itu sangat penuh perjuangan. Mulai dari visa yang terlambat keluar
sementara perkuliahan sudah mulai dua minggu. Keberangkatan seorang diri yang
berbonus jetlag dan koper yang tak tau rimbanya hingga harus wara-wiri tiga
hari di kampus dengan pakaian yang sama. Musim dingin dengan angka minus dua
digit. Mimpi indah tentang telur balado, nasi panas, dan kecap yang disantap
penuh selera. Hingga bagian yang paling menguras energi dan pikiran mengerjakan
begitu banyak tugas dan praktikum yang
harus dikejar karena terlambat.
Lalu ketika semua kesusahan dan perjuangan itu begitu berat
dia bertanya pada dirinya,
“apa sebenarnya yang sedang aku lakukan ? Kenapa aku
ada di sini dan jauh dari orang-orang yang aku sayangi?”
Pertanyaan milik semua orang yang galau ketika kuliah. Entah
apa yang dicari, entah apa, keluar dari satu ketidaknyamanan mengambil pilihan
yang lain yang ternyata begitu menggoda juga. Belajar di luar negeri ternyata
tak seindah yang orang lain bayangkan.
Hanya saja dalam mencari ilmu, ada kenikmatan-kenikmatan
lain yang tiada tara. Belajar hal-hal baru, mendapatkan teman-teman baru,
memiliki guru yang bijaksana, dan pastinya pengalaman-pengalaman hidup di
negeri orang.
Selama ini saya yang selalu curhat dengan dia dan kali ini
dia tak tahan untuk tak berbagi. Ya, dia ingin saya tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan bodohnya yang sungguh enak untuk ditertawakan dan menjadi
aib untuknya seumur hidup. Bahkan sahabat saya yang sangat brilian itu merasa
tak ada apa-apanya ketika dia mulai belajar lagi. Sepertinya belajar membuat
kita kosong, rendah hati, dan tak malu untuk melakukan kesalahan, khususnya untuk
orang-orang yang merasa dirinya telah dewasa dan mapan.
Tetap semangat Bang ! doakan sari segera menyusul..