Aku, kamu, kaos itu, dan Jakarta
Sepotong kaos yang diberi hampir tengah malam. Pertemuan dan sebuah kaos. Berlebihan sekali.
Beberapa bulan kemudian, aku mengerti, mungkin kaos itu ada
maknanya. Empat malam di Jakarta untuk sebuah mimpi yang indah tentang masa
depan. Terlintas namamu lagi ketika gerak Jakarta meningkahiku. Masih sempat
aku kirimkan pesan singkat untukmu,
“Aku ke Jakarta mu, kali ini doakan mimpiku jadi nyata”
Lalu Jakarta mesti aku akrabi langitnya yang tak pernah biru
dan udaranya yang terlalu pengap. Mesti sekali teringat padamu dan kaos yang
aku keluarkan lagi dari koper. Ah, buat apa aku membuat langit jakarta makin
kelam dengan membawa sebuah kaos putih bersih dengan tulisan merah dan gambar
hati yang terlalu biasa bertulis “I (love) Jakarta”. Peta-peta jalan yang
semrawut, tercetak, begitu biasa. Peta
yang tak jelas dimana dan skalanya itu membuatku mengerti, pemberian yang biasa
pada seseorang yang biasa, hanya saja pemaknaannya yang tak biasa.
Masih sesekali sekelebat bayangmu melintas dalam riuh rendah
jakarta. Aku ingin meninggalkanmu dalam lemari, seperti kaos putih itu yang
terlipat tak rapi. Meski janjiku,
“Aku akan memakai kaos itu, kalau aku kangen kamu”
Tak bisa menepatinya. Kaos itu terlalu biasa untuk sebuah rasa
yang tak biasa. Apalagi sebuah kata kangen yang begitu sulit untuk dikatakan.
Aku mencoba menjadi sesuatu di sini, untuk sebuah pertemuan
dan janji, meski bukan darimu. Mungkin Jakarta menawarkan sesuatu yang lain
hingga harus mengakui, aku akan menyimpan kaos itu selamanya di lemari
seakan-akan itu sama saja seperti menyimpan namamu dalam rak-rak yang gelap.
Aku, kamu, kaos itu, dan Jakarta, terlalu besar dalam
seminggu penghayatan namun cukup kuat untuk memaksaku menulis lagi. Pelan aku mulai mengabaikanmu, seperti kaos yang
menunggu di lemari dan Jakarta yang selalu macet, terlebih tentang kamu, aku
ingin biasa.