dhuha for sure

Waktu masih imut-imut dulu, masih bangga dengan seragam putih abu-abu, saya selalu shalat dhuha di sekolah. Awalnya ketika pelajaran agama, kami belajar tentang shalat-shalat sunat. Lalu entah siapa yang mulai saya dan beberapa teman mulai shalat dhuha di musala setiap jam istirahat pertama.

Saya suka rutinitas itu. Biasanya jam pertama selalu diisi dengan mata kuliah eksak yang berat apalagi ditambah kelas saya memang digenjot-genjot supaya anak-anaknya memiliki kualitas yang sama dengan nama kelasnya. Kalau guru sudah keluar, saya langsung buka sepatu dan mulai mencari-cari sendal jepit yang memang saya tinggal di kelas. Biasanya sendal jepit saya suka ada yang pinjam atau nyelip. Agak lama juga nyari kalau sendal tidak berada di tempat. Lalu saya menunggu beberapa teman untuk turun bersama. 

Tempat wudhu di sekolah saya tidak dipisah untuk akhwan dan akhwat, jadi pemandangannya lumayan segar juga, nunggu giliran wudhu bisa searching-searching sinyal yang bagus. Tempat wudhu ini juga berhadapan dengan laboratorium kimia dan fisika, suka masih ada yang beres-beres lab kalau jam istirahat. Lumayan kalau ada abang kelas yang bening.

Setelah wudhu kami shalat dhuha dua rakaat saja. Berdoa sebentar, saya tak lupa membawa foto copy doa selesai shalat dhuha yang diberikan teman sebangku saya. Selesai shalat, balik ke kelas. Simpan mukena, pakai sepatu, turun buat jajan.

Efek nyata yang saya rasakan karena rutinitas shalat dhuha ini adalah perasaan yang tenang selesai shalat. Jadinya pas masuk lagi otak sudah fresh. Bagusnya lagi adalah penghematan uang jajan, hehe waktu jajan yang terbatas membuat saya jarang jajan bakso.

Saya belum berjilbab waktu SMU dan gank dhuha saya bukan “anak musala”. Tidak ada yang pernah mengatakan kami sok alim atau apapun. Kami juga tidak pernah memaksa teman-teman untuk ikut berdhuha. Mungkin doa-doa saya waktu itu yang sekedarnya sebagian besar sudah dikabulkan Allah Swt.

Waktu kuliah, saya sudah tidak bisa rutin berdhuha seperti waktu SMU. Jam kuliah yang padat hingga siang dan semua kelalaian saya membuat susah sekali untuk terus konsisten. Ketika kerja, waktu dhuha sungguh penuh godaan. Kalau kerjaan lagi banyak-banyaknya biasanya tiba-tiba sudah siang. Kalau lagi santai, waktu dhuha adalah saat “bertukar informasi” yang paling baik. Ada juga rasa sungkan buat saya untuk dhuha karena itu membuat saya tampak beda dan mencolok. Benar-benar pemikiran yang picik, hanya saja itu memang saya rasakan.

Dhuha memang shalat sunat, hanya saja saya sudah merasakan nikmatnya tiga tahun yang berdhuha, sungguh berbeda rasanya. Saya terus berusaha, meski tidak konsisten, jika ada kesempatan berdhuha, maka tidak akan pernah saya tinggalkan lagi. 

Mari shalat dhuha..

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011