baking for sure
Pertama kali buat kue lebaran, umur saya masih belasan. Masih SMP. Ibu saya membebaskan kami berkreasi di dapur bermodalnya oven Hock dan Mixer. Saya tinggal mencatat bahan yang akan dibeli dan semua akan dibeli dengan ibu saya. Ibu saya sama sekali tidak ikut campur. Dapur dibawah kekuasaan saya. Ibu saya memilih melarikan diri demi melihat dapurnya yang berantakan.
Saya dibantu adik saya yang baik hati dan tidak sombong. Asisten saya yang tak pernah patuh. Alhasil acara buat membuat kue diakhiri dengan perang dunia ketiga dan semua kontenstan akhirnya meninggalkan arena dalam kondisi yang memprihatinkan. Biasanya ditinggal tidur karena membuat kue di bulan puasa sungguh melelahkan. Mau tak mau ibu saya membereskan pekerjaan kami. Adonan yang belum selesai diselesaikan dan menjaga kue yang masih di oven karena ditinggal kabur.
Lalu ketika tsunami, oven dan mixer yang sangat saya sayangi rusak. Sejak saat itu saya tidak pernah bersentuhan dengan adonan kue. Hingga kemudian ketika saya di adelaide saya mendapatkan rumah dengan oven gas yang sangat-sangat keren di dapur biru, saya mulai berkreasi lagi. Cake keju yang tak pernah sempurna, Puding Karamel dan Pizza berganti-ganti mengisi oven yang keren itu.
Kegiatan panggang memanggang ini biasanya saya lakukan ketika tugas kuliah lagi banyak-banyaknya sebagai sebuah pengalih perhatian dan sarana pencarian ide buat menulis.
Balik ke sabang, nenek membeli sebuah oven yang imut dan saya membeli hand mixer. Mulailah lagi kami membuat kue, black forest dan lapis surabanya. Rahasianya cuma satu, Pondan. Tidak ada yang menyangka kue kami yang lezato itu cuma bermodal tepung jadi Pondan. Tinggal tambah telur dan mentega cair saja. Hanya saja tidak ada yang terlalu mudah, tetap diperlukan insting untuk mengetahui apakah adonan sudah mengembang dan mixer sudah bisa dimatikan.
Biasanya Black Forest disajikan jika ada yang berulang tahun. Cakenya selalu saja tak kalah cantik dengan buatan Bakery. Ah, menuliskan ini saya jadi bisa merasakan segala suka cita panggang memanggang, tak pernah bisa menebak hasil akhirnya, meski semua instruksi sudah dilakukan dengan baik, hasil akhir selalu penuh kejutan, seperti hidup kami yang penuh warna di Sabang itu.