Museum Tsunami

Minggu lalu, saya ngajak nenek ke Museum Tsunami di jantung kota Banda Aceh. Parkiran museum ini selalu ramai dan menurut cerita nenek yang sudah tiga kali ke museum, museum tsunami keren.

Saya menunggu nenek menitipkan tas sambil memperhatikan mobil dan bus yang terparkir. Turis Malaysia sepertinya mendominasi. Beberapa mobil ditempeli kertas yang bertulis rombongan tur dengan plat mobil sumatera. Rombongan pengajian yang datang bergerombol. Turis dari Jepang yang berkelompok lima hingga enam orang. Sungguh pemandangan yang langka ada di Banda Aceh.
Kejadian bodohnya pas masuk museum suasana gelap, saya gak liat ada turunan, untung pegangan sama nenek jadinya gak jadi nyium lantai.

Air jatuh dari sela-sela langit-langit menjadikan suasana sejuk. Kata nenek ini spot paling romantis buat pacaran. Iya juga sih, buktinya saya hampir jatuh di sini kan romantis tu kalau yang digandeng pacar bukan nenek2. He..he..

Masuk dan masuk ke dalam saya makin takjub, suasananya tidak seperti di Banda Aceh, ini beneran museum yang dikelola dengan baik. Meski isinya masih belum lengkap, for me, it is good enough. Adek saya pasti senang mengunjungi museum ini karena petunjuk arahnya lumayan komplit.

Ada satu ruangan yang membuat saya menangis. Ruangan dengan nama-nama korban tsunami dan alunan ayat Al-Quran terdengar nyaring. Saya serasa terlempar ke masa-masa penuh kesedihan itu.
Selebihnya saya memperhatikan pengunjungnya daripada isi museum. Mereka sangat menikmati kunjungan museum ini. Ya, syukurlah akhirnya

Banda Aceh punya Museum yang memang seperti sebuah museum. Saya berharap ini bisa jadi salah satu media pembelajaran kebencanaan yang lebih efektif. Tiba-tiba beribu gagasan meloncat-loncat di kepala saya.

Saya berbisik ke nenek,

“Suatu hari nanti, saya kepala museum ini nek...”

Nenek meng-amin-i doa saya, ya someday..

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Interview Masuk SMP