Suatu sore bersama si fotografer

Kemarin akhirnya dimulai juga rencana hunting foto sama si fotografer keren itu. Terburu-buru pulang ke rumah, janjinya jam empat sore mau mulai. Pesan singkatnya masuk, saya ditunggu di depan kantor walikota. Weew, saya tidak dijemput. Jadi kami naek motor masing-masing. Mau tau alasannya, harusnya saya tulis di akhir cerita, tapi tak apa-apalah, sekarang saja saya tulis. Dia tidak mau membonceng saya hanya karena saya berat, kata lain buat gendut. Uh, ngeselin banget, semua rayuan maut saya gak mempan. Saya teteup naik si Bang Rio, membelah Kota Sabang yang padat menjelang berbuka. Maafkan kalau saya berat, hee..

Kami mulai hunting berdasarkan album foto jaman dulu, jaman Belanda buat diambil pemandangan jaman sekarangnya. Kalau istilah si Bos "Duplikasi". Setelah seharian duduk sama si Bos mereka-reka dimana lokasi foto, hanya dapat 10 foto. Ketika sudah sampai lapang, dari 10 foto cuma dua foto yang bisa diambil. Sisanya, pemotretan tidak bisa dilakukan karena kondisi tempat pengambilan yang tidak memungkinkan untuk mengambil frame yang sama.

Si fotografer itu kelihatan bersemangat, saya hampir pingsan. Cuaca sangat panas menyengat di tambah ada satu lokasi yang harus naik tangga lumayan heboh. Saya berbisik "Kalau aku pingsan, tolong diangkat "
Si fotografer lalu mulai menceramahi saya, katanya saya manja. Ah, manja kata apa pula itu.

Beberapa lokasi tidak bagus diambil sore hari. Posisi matahari kurang pas dan pencahayaannya kurang. Si fotografer nurut aja apa kata saya, kadang saya sengaja agak kejam. Bilang fotonya jelek, langsung dihapus sama dia. Agak susah juga mengambil angle yang sama. Ada yang harus diambil dari tengah jalan.

Ah, saya tidak bisa membayangkan kalau si fotografer ditabrak mobil lagi jeprat jepret. Pastinya dia akan melindungi kameranya yang segede gaban itu.

Si Fotografer entah pakai baterai apa, energinya tak ada habisnya. Usai memotret kami duduk di pinggir jalan. Saya melihatnya mengelap kamera dan berbicara dengan kameranya " Besok lagi ya kita sambung " Sambil membungkusnya kameranya dengan kain. Penuh kasih sayang. Saya gak tega buat ketawa, mungkin kamera itu pacar pertamanya.

Hampir senja ketika kami pulang, si fotografer menunjuk langit dan berkata
"Langitnya bagus.."

Sekali lagi saya memperhatikan si fotografer. Celana pendek, kaos hitam, dan sendal jepit. Rambut model terbarunya ala bintang film Korea, masih agak gondrong, tertiup angin. Lalu memandang diri saya, baju batik, dan jilbab yang berantakan. Pasti kami dikira pasangan pembantu dan majikan. Pantas semua orang memandang dengan aneh.
"Udah gak usah pedulikan.." kata si fotografer

Sore itu kami memandang laut kejauhan, dan saya masih tersenyum, si fotografer masih saja berbicara dengan kameranya.


Popular posts from this blog

menulis serius

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011

Mimpi Masa Muda