seperti apa rasanya tidak tau apa yang sebenarnya terasakan?

Pagi, gerimis membangunkanku. Perlahan aku berlari mengejar rintiknya untuk ku simpan dalam botol kacaku. Kemanakah pelangiku, aku kira dia akan menjengukku kemarin. Haruskah aku mengganti musim ini dengan musim dingin yang hening?

Langitku kubiarkan terbentang. Langitku kubiarkan terbuka. pelangi tak mau juga merayap. Aku diikutinya terus. Tak bisa bersembunyi.

Aku tidak bisa berpaling dari pelangiku. pelangiku tak terhapus hujan semalam. pelangiku tak terbebas dari kilat yang mencoba membantuku. Aku terus diikutinya.
Kuputuskan membujuknya pergi dariku. Caraku kupikir bisa membuatnya pergi. Membuat pelangi itu menyurut. Aku putuskan menunjukkan tapak dan jejakku padanya. Pada pasir yang mencetak telapak. Pada daun yang merekam sentuhan. Pada air yang menyimpan arus bawah.
Aku menggandengnya berjalan menyusuri jalan-jalan yang terasa akrab. kali ini entah kenapa tanjakannya membuatku lelah. Turunannya membuatku hampir tergelincir. Pada belokannya membingungkanku, lurus atau berpaling pada sudut yang lain.
Mungkinkah karena pelangiku memberatkan langkahku?

Untuk apa aku terus berjalan, apa yang aku inginkan hari ini? Ini hanya monolog disertai langkah yang tak tentu. pelangi itu keras seperti dinding yang sudi memantulkan saja tanpa memberi lebih.

Langitku masih saja terus merekah. Menyedot smua debu dan serbuk sari. Terbuka dan terbuka. Meregang memberikan ruang yang terlalu luas. Apakah itu akan ada artinya? Apakah arti itu penting? Bisakah aku hanya memandangnya tanpa pernah berharap pelangi itu akan membawaku pada dia yang menitipkannya padaku?

Aku pulang saja. Langitku membuatku takut. Aku pulang saja. Besok saja aku kunjungi taman pelangi itu. Jika dan hanya jika aku menjelajahinya karena aku ingin bukan karena aku keluh.

Popular posts from this blog

menulis serius

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011

Mimpi Masa Muda