Merekam cerita dan jejak mereka yang tak berhenti bekerja (refleksi sembilan tahun tsunami)

Sejak Oktober lalu, saya melakukan penelitian, tentang strategi pemerintah dan lembaga non pemerintah dalam meningkatkan kemandirian dan ketahanan masyarakat menghadapi risiko bencana tsunami setelah Tsunami Samudera Hindia 2004.

Saya membuat janji temu dengan banyak orang. Saya menelusuri keberadaan mereka satu per satu.  Berkenalan melalui narasumber sebelumnya yang saya interview. Membawa kertas pertanyaan saya yang akhirnya robek karena renta menahan kisah. Tak lupa merekam kata demi kata agar tak ada yang hilang, sambil mempertahankan kontak mata pada penutur-penutur yang menjawab pertanyaan saya dalam berbagai ekspresi. Halaman demi halaman penuh dengan tulisan tangan seadanya yang digoreskan dalam kecepatan paling tinggi.

wawancara di kedai kopi ditemani segelas sanger dingin


Banyak yang bertanya, mengapa saya melakukan penelitian dengan topik ini? Menurut saya, setelah sembilan tahun berlalu, peristiwa tsunami 2004 pasti akan memberikan pembelajaran dan gerakan di masyarakat untuk terus berusaha mengurangi risiko bencana di masa yang akan datang. Hanya saja, siapa mereka, apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka melakukannya, masih perlu dipelajari karena sulit untuk melihat pergerakan ini dalam kehidupan sehari-hari yang “normal” bukan dalam situasi bencana.

Ketika akan memulai penelitian ini, ada kekhawatiran yang sangat besar dalam diri saya, bagaimana jika masyarakat Aceh sudah tak ingin lagi mengingat peristiwa sembilan tahun lalu? Bagaimana jika mereka sudah terlalu bosan ditanya-tanya tentang tsunami?

Namun kekhawatiran itu tidak beralasan.  Pertanyaan utama dalam penelitian saya adalah “Apa kontribusi (anda/organisasi) untuk meningkatkan kemandirian masyarakat menghadapi risiko bencana tsunami di masa yang akan datang?” Jawaban-jawaban dari narasumber saya sangat beragam dan sungguh inspiratif, jauh melebihi ekspektasi saya.

Kontribusi-kontribusi dari organisasi atau orang per seorang ini sangat berharga. Sebagian besar mereka bekerja dengan sukarela tanpa dibayar. Volunteer atau relawan, meski mereka tidak menyebut diri mereka seperti itu, tapi mereka bekerja seperti itu.

Saya berbicara dengan perempuan, laki-laki, orang dewasa, anak-anak, kaum difabel, dan berbagai profesi yang berkontribusi sesuai dengan mimpi dan keahlian mereka agar masyarakat merasa aman dan mampu menyelamatkan diri  jika terjadi bencana.

Mereka bekerja sepenuh hati, membentuk kelompok-kelompok, melakukan program dan kegiatan, bertukar informasi, saling membantu dan saling belajar satu sama lain. Mereka memikirkan apa yang bisa mereka berikan agar masyarakat semakin merasa aman dari ancaman bencana. Mereka menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran bahkan mengeluarkan sendiri dana untuk membiayai kegiatan tersebut.

Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan?

Mereka bekerja dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan dan non-pemerintah. Mereka bukan selebritis, tapi pikirkanlah tentang mereka yang datang menolong ketika situasi paling darurat, setelah gempa yang kuat, dan semua smartphone menyerah karena sinyal yang lemah. Mereka akan ada di sana, memberikan informasi, membantu korban yang luka karena kecelakaan lalu lintas ketika melakukan evakuasi, mereka berdiri di jalan mengurai macet, membantu anak sekolah menyelamatkan diri atau mereka tetap bertahan di gampong untuk menjaga keamanan. Mereka yang mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan diri dan keluarganya.

Lalu ketika masa darurat selesai, mereka ada di lokasi untuk melihat kebutuhan pengungsi. Berkoordinasi, bekerja sama, dan saling memberi semangat. Mereka yang berusaha agar bantuan  khusus untuk perempuan seperti pembalut dan air bersih harus tersedia. Ibu hamil dan ibu menyusui didampingi oleh paramedis yang handal meski dalam kondisi paling darurat. Mereka berteriak agar kamar mandi untuk pengungsi laki-laki dan perempuan dipisahkan dalam jarak yang aman dan diberi penerangan yang cukup. Mereka juga menghimbau agar berita-berita bertema bencana ditulis dengan bahasa yang santun, tak hanya menjual kesedihan, dan memberikan manfaat untuk korban.

Mereka juga tak henti-hentinya mendorong pemerintah meningkatkan kapasitasnya dalam mengkoordinasikan program-program kerja dalam kerangka pembangunan yang terintergrasi dengan isu bencana. Mereka melakukan piket agar jika terjadi kejadian darurat mereka dapat bergerak cepat. Mereka memperkuat kelembagaan adat untuk berbicara tentang isu bencana. Mereka merangkul kaum minoritas, marjinal dan rentan agar juga siap menghadapi risiko bencana.

Mereka-mereka itu yang tak berhenti memperjuangkan rasa aman dan bekerja melawan lupa, agar musibah tsunami 2004 menjadi pembelajaran, hingga kapanpun. Agar generasi yang baru, mengenal kata tsunami dan mengerti apa yang harus dilakukan ketika bencana itu mengancam.

Maka hari ini, di saat kita mengirimkan doa kepada teman, kerabat dan keluarga yang mendahului kita sembilan tahun lalu,  sertakanlah sebaris doa untuk mereka-mereka yang masih bekerja dengan ikhlas memberikan masyarakat rasa aman dari ancaman bencana. Doa agar semangat mereka tak pernah padam untuk terus bekerja, meski nama mereka tak akan pernah tercatat atau dikenali.


nb. Terima kasih untuk narasumber-narasumber saya, yang meluangkan waktu untuk berbagi kisah dengan saya. Kerja belum selesai, tapi kita sudah memulainya dengan baik.       

Popular posts from this blog

menulis serius

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011

Mimpi Masa Muda