Dirgahayu Indonesiaku

Salah satu bentuk kebebasan yang saya rasakan semenjak jadi student lagi adalah tidak perlu ikut apel atau upacara. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan rasa nasionalisme dan patriotisme, hanya saja saya terlalu malas untuk ikut apel dan upacara. Berdiri, ngobrol-ngobrol di barisan , tanda tangan absen trus pulang.

 Tanggal 17 Agustus selalu mengingatkan saya pada acara pengibaran bendera di televisi. Sejak kecil, ibu saya selalu mengatakan kepada saya, mungkin saja saya bisa jadi anggota paskribaka yang mengibarkan bendera pusaka di Istana negara. Maka hari-hari menuju umur yang pantas untuk bisa jadi paskibra ini sungguh lama terasa. Kepercayaan diri saya sungguh besar dan Ibu saya terus mendukung saya untuk meraih mimpi itu.

Ketika kesempatan itu datang, waktu saya SMU, saya baru menyadari saya sama sekali tidak cakap untuk bisa balik kiri, hadap kiri, hadap kanan, serong kiri, serong kanan. Otak saya merasa semua perintah itu terlalu susah untuk dilakukan. Butuh waktu sekitar lima menit untuk memproses sebuah aba-aba balik, hadap, serong, kiri atau kanan. Mungkin bagi sebagian besar teman-teman saya ini adalah hal sepele, tapi buat saya, ini sebuah persoalan besar.

Saya tidak tahu cara kerja otak saya, bagian mana yang harus dipersalahkan untuk semua kekurangan ini. Maka saya membiarkan mimpi saya ini kandas, pada hari pertama latihan seleksi paskibra sekolah. Saya menambah satu lagi daftar kekurangan diri saya yang saya sadari sepenuhnya.

Ternyata untuk bisa menghadiri upacara bendera di Istana, bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya, dengan menjadi siswa teladan atau mengikuti lomba karya ilmiah remaja. Untuk jadi siswa teladan, pastilah saya tak mampu. Saya cuma bisa bertahan di peringkat lima besar dengan sekuat tenaga. Maka pilihannya cuma satu, ikut lomba karya ilmiah remaja.

Alhamdulillah saya terpilih jadi finalis dan diundang ke jakarta tahun 1998. Namun, mimpi saya buat hadir di istana tanggal 17 agustus tidak terwujud. Waktu itu Indonesia lagi heboh-hebohnya, sehingga panitia LPIR, namanya diubah jadi lomba penelitian ilmiah remaja, mengundurkan waktu pelaksanaan lomba jadi bulan september. Maka saya kemudian berdamai dengan mimpi masa remaja saya itu. Saya sudah berusaha hingga titik darah penghabisan hehehe

17 Agustus tahun ini, saya tidak bisa melakukan tradisi nonton acara pengibaran di televisi. Namun, saya menonton kembali film masa remaja saya, ketika itu tidak ada yang tak bisa dilakukan. Saya masih terlalu berani bermimpi.

Dirgahayu Indonesiaku, jayalah selalu..




Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011