Mangrove Ulee Lheue (terkenang lagi)

Skripsi saya yang seadanya itu sungguh memiliki cerita yang bersejarah dalam hidup saya. Penelitian saya tidak terlalu susah sebenarnya, tentang struktur komunitas kepiting di ekosistem mangrove. Ah, saya begitu tergila-gila dengan ekosistem mangrove ini, sampai pernah bercita-cita jadi ahli mangrove.

Penelitian saya adalah penelitian payung, dapat diartikan dalam satu area penelitian, kami mengerjakan tiga jenis penelitian. Saya mengamati kepiting, Irma berbicara tentang moluska dan Iwan membahas pengelolaan mangrovenya. Lokasi penelitian kami adalah halaman belakang rumah Irma di kampung Deah Geulumpang. Jadi, kami selalu berkumpul di rumah Irma sebelum nyebur ke mangrove. Tukang perahu yang menemani kami mengambil sampel adalah tetangga irma, yang setia menunggui kami menangkap kepiting dan moluska sambil terkantuk-kantuk.

Penelitian kami ini sungguh spesial karena berangkat dari cita-cita kami selesai kuliah dalam waktu kurang dari empat tahun. 3,5 tahunlah. Jadi liburan semester 6 kami sudah turun lapang. Sayangnya, data awal yang kami ambil tidak sesuai dengan metode yang seharusnya. Jadi ketika liburan semester 7 kami turun kembali dengan semangat yang masih menyala.

Mangrove di tempat penelitian kami sungguh mempesona. Airnya jernih, pengaruh laut lebih besar dari payau. Proses pengambilan data yang sangat tergantung pada pasang surut membuat kami sering menunggu air kering atau air menggenang. Duduk di antara dahan mangrove sambil bergosip dan bermimpi. Kedua sahabat baik saya itu sangat ceria dan cerewet, hanya saya yang pendiam dan pemalu. Hahaha...
Bagian yang paling mengasyikkan adalah menangkap kepiting dan menghitung kepiting yang sangat lincah. Sebenarnya saya sangat takut dengan kepiting. Jadinya lebih banyak iwan yang membantu saya mengejar kepiting. Belum lagi perjuangan melewati wc terpanjang di Banda Aceh sebelum mencapai tempat kami mengambil sampel. Iwan sampai bercita-cita kalau jadi orang kaya akan membangun wc untuk masyarakat di sekitar mangrove.

Sapaan hangat para penduduk sekitar mangrove selalu mengiringi pagi sore kami. Kadang kami berbicara sebentar menceritakan apa yang sedang kami lakukan. Anak-anak kecil sering menemani kami dengan keberanian yang tak ada lawannya. Hutan mangrove sebagai habitat ular sering membuat kami menjerit-jerit histeris kalau melihat ular yang hanya sekedar ingin mengintip keriuhan kami di hutan mangrove.

Sekarang, saya tidak bisa membayangkan lagi dimana titik-titik sampel itu berada. Dimana pohon-pohon yang kami ukur diameternya. Dimana bapak pembawa perahu. Dimana anak-anak yang menemani kami mengambil sampel. Dimana persis letak rumah irma tempat kami makan siang dengan lahapnya setelah selesai berendam seharian. Dimanakah? Ya, akhir Desember itu, semua hilang tersapu gelombang bernama tsunami.

Semua tentang pohon, kepiting, moluska, gerak masyarakat dan keseluruhan ekosistem mangrove Ulee lheue, tertulis rapi, di skripsi kami.

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011