Membaca, sebuah kenangan masa kecilku

Dua hari terjepit ini saya habiskan dengan membaca. Baru bangun tidur, saya suka tertidur kalau membaca. Tiba-tiba ingat kebiasaan membaca masa kecil saya. Mungkin agak tidak biasa, dibandingkan anak-anak usia SD pada saat itu.

Kami sekeluarga dulu tinggal di samping rumah nenek saya. Ketika saya mulai pandai membaca, tante saya baru pulang menyelesaikan Masternya dari Manila dan memutuskan untuk membuat sebuah ruang belajar dan ruang baca di rumah nenek saya untuk menampung buku-bukunya yang banyak sekali.

Maka tiada hari yang tidak saya habiskan di ruang baca itu. Setiap pulang sekolah saya selalu mengendap-endap masuk ke ruang itu. Tante saya berlangganan majalah Akutahu (ini isinya tentang ilmu sains, siswa berprestasi, dan iklan utamnya cerebrovit untuk kecerdasan otak), Amanah (kalau majalah ini tentang agama Islam kalau sekarang mungkin seperti Paras atau Noor), Intisari (kalau ini masih ada majalahnya), Kartini (ha..ha.. anak SD tapi hobi baca rubrik Oh mama Oh papa) dan yang paling menyenangkan majalah Selera (tentang masakan dan ada satu cerpennya yang tema utamanya berkaitan dengan makanan tak pernah saya lewatkan membacanya).

Majalah-majalah ini disusun rapi di atas rak, sesuai judul majalah, dan saya harus menggeser kursi supaya dapat memilih majalah mana yang ingin saya baca. Kalau saya beruntung, tante saya suka lupa mencabut kunci lemari-lemari bukunya yang berisi buku-buku bagus tentang masakan dalam bahasa Inggris, Hard Cover, dan kertasnya wangi. Namanya anak kecil, pasti suka berantakin, dan mama saya harus rela menerima complain anaknya suka ngobrak-abrik lemari buku orang. Lalu saya dilarang sehari atau dua hari ke ruangan itu, sampai tante saya lupa tentang kejahatan saya itu.

Hari-hari seperti itu bukan berarti saya tidak membaca, petualangan dilanjutkan ke kamar tante saya yang lain. Dia tidak serapi tante saya yang pertama, kalau saya tilep bukunya pasti dia juga tidak sadar. Bukunya berserakan di kamarnya, kalau saya sudah sangat putus asa saya akan duduk dan memilah-milah bukunya yang kebanyakan tentang pengajaran Bahasa Inggris. Melihat gambar-gambar tanpa mengerti apa artinya. Suatu hari saya beruntung menemukan beberapa novel, dan melahapnya habis dalam beberapa kunjungan. Setelah SMU saya baru sadar itu novel-novelnya Nawal El Sadali, pantas saja cerita-ceritanya susah dicerna anak SD, bahasanya berat dan saya tidak mengerti apa itu feminis. Sampai sekarang saya sangat terkesan dengan diri saya yang membaca novel perempuan di titik nol atau memoar seorang dokter perempuan, karena sudah pernah baca saya tidak akan ulang baca lagi meski saya sama sekali tidak ingat ceritanya.

Kalau di rumah sendiri, banyak juga buku babah dan mama, cuma buku mereka semuanya tentang jembatan, jalan, konstruksi dan kebanyakan buku teks, bahan kuliah, dan tesis. Ketika saya bisa membaca, babah baru selesai kuliah di Bandung. Karena mereka berdua sehati dalam apapun, jadi koleksi bukunya juga sama.

Ada dua buku babah saya yang saya sangat suka dan selalu saya baca berulang-ulang. Pertama, buku cara membuat berbagai macam perabot dari kayu, step by step, dari cuma beberapa potongan kayu bisa disulap jadi perabot yang bagus. Saya meragukan babah saya bisa membuat semua benda yang ada di buku itu tetapi saja saya memohon dibuatkan sebuah rak untuk menyimpan boneka. Saya punya banyak boneka waktu itu dan seperti dugaan saya, janji janji tinggal janji, tak pernah ada satupun benda yang berhasil dibuat oleh babah saya dari buku itu. Kedua, buku tes IQ, gambarnya bagus-bagus. Model-model pertanyaan untuk mencari lima perbedaan, apa yang beda, gambar dibalik-balik. Saya selalu mengintip kunci jawabannya. Saya tidak bisa menemukan jawabannya. Saya suka mengetes mama saya, dan mama selalu bisa menjawab. Apa mama sudah duluan membaca kunci jawabannya ya?

Dan di antara tumpukan kertas dan buku itu, suatu hari saya menemukan sebuah harta karun, dibilang buku bukan buku dibilang kertas tapi terjilid rapi. Covernya dibuat dan disampul kertas kado dan kertas-kertas itu ditulis dengan tulisan tangan rapi, yang saya kenali sebagai tulisan tangan mama dan babah. Baru saya membaca greetingnya, mama saya langsung menarik paksa buku itu dari tangan saya, ha...ha... ternyata itu kumpulan surat cinta mereka. Salah saya seh, membacanya besar-besar, maklum agak susah membaca tulisan tangan, kadang-kadang harus dieja..

“Menemui Adinda...”

Ha..ha.. saya tidak pernah bisa menemukan harta karun itu lagi, sejak saat itu mama menyimpannya dengan baik di antah berantah. Kadang kalau saya iseng, saya melakukan pencarian harta karun itu karena masih merasa sangat penasaran dengan isinya.

Entah dimana surat-surat itu, pastinya mungkin tak terselamatkan ketika tsunami. Ah tapi kenangannya masih ada bukan hanya di hati mama dan babah, tapi di hati saya juga.

Popular posts from this blog

menulis serius

Mimpi Masa Muda

Cut Abang dan Cut Adek Sabang 2011