Thanks for the closure, love
Tidak semua orang butuh closure. Untuk orang-orang yang dapat berdamai, atau dapat menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan berakhirnya suatu hubungan, closure hanya sebuah pemanis.
Apa itu closure? Untuk saya, closure adalah seperti tanda titik dalam sebuah kalimat. Closure penanda, bahwa sesuatu sudah selesai. Atau sesederhana kalimat penutup dalam sebuah cerita.
Untuk sebuah cerita yang sudah ditulis bertahun-tahun, saya membutuhkan sebuah closure.
Masalahnya, cerita ini, setiap saya berpikir sudah berakhir, maka episode baru muncul lagi dengan sangat alami. Seakan-akan tidak ada habisnya. Hanya saja, semua cerita ini, sangat tidak jelas, kemana arahnya, apa maknanya, dan alasan kenapa itu muncul.
Hal-hal yang tidak pasti itu, meski saya sudah belajar tentang uncertainties di mata kuliah statistik, lengkap dengan berbagai teori, tetap saja membuat saya tersiksa. Berbagai pertanyaan butuh dijawab, sesuatu yang telah dimulai, baiknya diakhiri ketika memang sudah waktunya, dan jika tidak ada lagi yang dapat dilakukan.
Buat saya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan, pemahaman terhadap apa yang terjadi, dan kontrol terhadap situasi adalah sesuatu yang harus diupayakan. Inilah akar masalah, yang membuat perasaan dan pemikiran saya terus berperang. Perang antara kata hati yang begitu naif dan otak yang sudah dilatih bertahun-tahun untuk dapat berpikir kritis dan logis.
Hingga minggu lalu, pada suatu titik yang paling bawah, saya harus memilih antara perasaan dan kata hati, di atas logika saya yang sudah dilatih dengan baik.
Perasaan memaksa air mata untuk terus turun seperti hujan yang tiba-tiba lebat dan menenggelamkan segala sesuatu dalam waktu yang tidak begitu lama. Tiba-tiba semua lumpuh, proses berpikir logis saya, mau tidak mau mundur, menyilahkan perasaan yang duluan tantrum untuk mengambil kendali.
Perasaan saya terus menuntut satu hal untuk dilakukan. Hati ingin mengatakan semua yang dirasakannya dan sangat ingin didengarkan oleh pihak kedua yang terlibat dalam carut marut hubungan ini.
Pihak kedua saya, akan saya perkenalkan sebagai Tuan WI, sangat keras kepala dan sulit dihadapi. Tidak ada celah sedikitpun untuk bisa menang bernegosiasi dengannya untuk memberikan closure dengan mulus. Closure dari Tuan WI harus direbut dengan penuh perjuangan.
Namun, saya sudah terlalu lama mengenal Tuan WI. Saya tahu cara berkonfrontasi dengan Tuan WI. Saya tahu cara berbicara agar didengarkan. Saya hanya perlu menguatkan hati saya, untuk terus berbicara meski responnya tidak sesuai dengan harapan saya.
Maka, sore itu, pihak pertama dan pihak kedua berbicara dengan nada yang paling tinggi. Saya mengatakan apa yang sanggup saya katakan. Percakapan yang aneh, Tuan WI beberapa kali sempat hilang kendali dalam belantara egonya. Saya sekuat tenaga menahan tangis. Closure itu hadir dalam sebuah percakapan campur aduk yang membuat saya membenci sekaligus begitu bersedih akan menutup cerita dengan Tuan WI yang mampu menekan tombol-tombol yang tepat dalam hati dan kepala saya.
Jadi seperti itulah, setelah menutup telepon, saya masih saja mengirimkan voice note untuk mengatakan hal-hal yang tidak bisa dikatakan dengan langsung dengan suara bergetar. Tidak lupa juga mengirimkan link lagu "Bait Pertama" dan "Memori Baik" Sheila on 7 yang menggambarkan dengan baik situasi yang kami berdua hadapi.
Closure, yang sudah lama ditunggu, akhirnya datang pada saat paling random dan meminta keberanian yang sangat besar untuk saya yang cemen ini.
"Aku memang cemen, but let me be brave this time, love!"
Saya tidak pernah seberani ini, tidak pernah sesedih ini, dan tidak pernah selega ini.
Sampai di sini dulu, Tuan WI. Terima kasih untuk closure yang sangat epik ini. Kali ini, saya pastikan, saya tidak akan menulis apapun lagi dalam buku cerita kita.
Thanks for the closure, love!