Jakarta dan Ojek
Sejak di Jakarta, ojek menjadi pilihan yang paling sering
saya ambil untuk bepergian sendiri.
Pertama, waktu berkendara biasanya singkat. Tukang ojek tau
jalan-jalan tikus yang bisa memotong jarak. Macet juga tidak jadi masalah,
sepertinya semua tukang ojek mengerti cara membawa motor dalam kemacetan.
Kedua, masalah harga yang bisa dinegosiasikan sejak awal.
Pandai-pandai menawar dan mengukur jauh dekat tempat tujuan. Memang lebih mahal
jika dibandingkan dengan kenderaan umum lainnya, seperti commuterline atau bis.
Malah kadang lebih mahal dari ongkos taksi. Cuma kelebihannya dari awal kita
sudah tau berapa yang harus kita bayar untuk jasa ojek tersebut.
Kekurangannya, yang paling membuat saya mikir-mikir dulu
sebelum naik ojek adalah keamanan dan keselamatan berkendara. Pengalaman saya
selama ini : beberapa tukang ojek ngebut, melewati lampu merah, jalan di
trotoar, dan yang paling horor, melewati palang kereta api yang mau lewat.
Benar-benar uji nyali dan keberanian.
Selain itu, polusi udara dan debu kota langsung terhirup.
Saya yang alergi debu mulai terserang batuk-batuk sejak sering ber-ojek ria.
Kelebihannya, saya bisa menikmati pemandangan kota Jakarta
langsung dengan mata saya. Malah kemarin itu sempat melihat senja di Jakarta,
yang ternyata tetap saja indah meski langitnya kelabu.
Bagaimanapun saya memimpikan suatu saat nanti Jakarta
memiliki sistem transportasi publik yang dapat mengakomodasi kebutuhan
masyarakat yang ingin berkendara cepat, murah dan aman. Bukan tidak mungkin
jika ada keinginan dan komitmen dari Pemerintah.