Sebaiknya kita tidak berbicara lagi, lalu kenapa kita berbicara lagi?

Kurang lebih, lima bulan setelah closure, tanpa aba-aba, semesta mengirim lagi satu sapa, untuk menguji apakah pintu itu telah terkunci atau masih dapat dibuka.

Ternyata, pintu itu masih bisa dibuka dengan lebar, seakan-akan pintu itu tidak pernah dikunci atau ditutup dengan dibanting keras.

Perempuan itu, mungkin agak bodoh, atau agak bingung, atau agak bahagia karena sesuatu yang dipikirnya sudah tidak mungkin datang, tiba-tiba saja, sudah berdiri lagi di depan pintu.

Lelaki itu berdiri dengan gugup di depan pintu. Tentu saja dia memiliki beberapa agenda tersembunyi. Dia berusaha agak jujur dengan alasan kedatangannya tapi tetap saja, dia selalu datang dengan beberapa keperluan. Beberapa pertanyaan yang perlu dibahasnya hanya dengan perempuan itu.

Dari milyaran manusia di muka bumi ini, hanya perempuan itu yang bisa diajaknya bicara tentang hal itu. Dia datang seolah-olah apa yang terjadi lima bulan lalu tidak pernah terjadi.

Perempuan itu, dalam semua perasaan campur aduk, berusaha untuk tenang, kelihatan tenang dan tapi tak bisa menyembunyikan rasa canggungnya.

Mereka berbicara lagi dan perempuan itu seakan tak percaya, suara lelaki itu, suara yang sangat dirindukannya diam-diam dapat didengarkannya kembali.

Namun, lelaki itu lupa, perempuan ini telah berdamai dengan peperangan dahsyat. Sebagai veteran, mentalnya sudah terlatih melewati kejutan demi kejutan.

Untuk itulah, pelan tapi pasti, perempuan itu kembali menutup pintu dan menguncinya dua kali. 

Perempuan itu berteriak lantang:

"Lelaki, kalau mau datang kembali, dobraklah pintu itu sekuat tenaga"

dan perempuan itu tahu, itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Pintu itu akan selama-lamanya tertutup.


Popular posts from this blog

Interview Masuk SMP

Lelaki tempatku bercerita

My ten years challenge