Surat-surat dari Bonn
Sejak kembali ke
Bonn, Setiap dua minggu sekali, aku mengirimkan surat untuknya. Dua atau tiga
lembar, bolak-balik, ditulis tangan dengan tarikan yang dibuat serapi mungkin.
Kertas suratnya aku robek dari buku catatan penelitianku yang bergaris biru
muda atau dari halaman buku harianku yang sebenarnya sayang untuk dijadikan
kertas surat, aku mencintai diariku itu, takut penuh jadi jarang kutulis. Lalu
kenapa kemudian aku robek dan jadikan kertas itu, kertas surat untuk dia
Surat itu dikirim
dengan amplop putih, yang dulu aku beli di toko murah meriah serba ada. Jaman
masih ngirit karena uang beasiswa selalu pas-pas-an.
Harusnya aku beli
kertas dan amplop yang memang diciptakan untuk korespondensi. Bukannya dulu aku
juga mengkoleksi kertas surat dari korea yang sungguh menawan. Meski harganya
dan barangnya langka, tapi memilikinya sungguh membuatku bahagia. Cuma ada satu
toko yang menjual kertas surat buatan korea waktu itu, dan mengunjungi toko itu
memberikan kebahagiaan yang luar biasa.
Memilih-milih
kertas surat yang tercantik dan menghitung uang yang ada di dompet, hasil
menabung uang saku atau merengek-rengek minta pada orang tua.
Aku begitu
mencintai menulis surat, entah berapa jumlah sahabat penaku sejak namaku dimuat
di sebuah rubrik pembaca majalah anak-anak. Waktu itu aku mencari teman lamaku
yang hilang jejaknya, berharap dia berlangganan majalah itu dan mengirimkan aku
kabar kembali. dan bertahun kemudian aku menemukannya di facebook bukan karena
dia membaca surat pembacaku.
Aku berkirim
surat rutin kepada beberapa sahabat hingga akhirnya temanku mulai mengirimkan
surat dengan ketikan komputer dan lalu email.
Aku kehilangan
sesuatu, tapi terus juga menulis email yang melankolis untuk cinta-cinta dalam
hidupku. Bak pujangga besar dan menulis menjadi kebiasaan sebelum tidur untuk
menyampaikan rasa yang mereka gerakkan dalam imajiku.
Dan dengan
seseorang yang aku kirimi surat membabi-buta ini, aku bercerita apa saja dan menulis
kapan saja aku inginkan.
Lalu aku merasa
ketakutan membuka inbox emailku, membaca jawaban email yang mungkin isinya tak
sesuai dengan harapanku. Kadang hanya satu dua kalimat atau satu atau dua kata.
Kadang tak dibalas.
Hanya ada satu yang pernah membalas emailku sepanjang email
yang aku tulis. Aku sungguh terpesona dan bahagia. Ternyata ada seseorang yang
bisa mengimbangi kegilaanku dalam menulis surat.
Sudah lama tidak ada yang bisa membuatku menulis dengan
tanganku surat yang panjang. Lalu ketika aku sangat ingin menulis untuknya, aku
tidak bisa membendung keinginan itu, mungkin terlalu banyak harapan dan
keinginanku untuk terus membuatnya menjadi bagian dari hariku.
Aku menyukai
ritual menulis itu, memilih kata, memilih kisah, menuliskannya, memasukkannya
dalam amplop, merekatkan amplop, menulis namanya, menulis namaku, melekatkan
prangko dan memasukkan surat tersebut ke dalam kotak surat.
Dan sebelum surat
itu aku kirimkan, aku membaca berkali-kali kalimat yang aku tulis, merasa
senang membaca surat yang sedemikian indah dan klasiknya. Meski sekarang sulit
sekali mengingat lagi apa saja yang sudah pernah aku tulis. Aku begitu takut
aku akan mengulang cerita yang sama karena itu akan membuatnya bosan.
Sampai saat ini, dia tidak pernah membalas suratku. Dia juga
tidak memberitahukanku, suratku sampai atau tidak.
Sekali, pernah dikatakannya padaku, suratku terlalu panjang
dan dia tidak tahu harus menulis apa untuk membalasnya.
Jawabku, tidak apa-apa, nanti surat-surat itu aku minta
kembali, sebagai catatan kenanganku selama di sini.
Mungkin dia tidak terlalu bahagia menerima surat-suratku,
mungkin sejak aku mengatakan itu, dia tidak pernah membuka apalagi membaca
suratku lagi.
Mungkin aku harus
berhenti mengirimkannya surat. Mungkin surat itu membuatnya tidak
nyaman.
Padahal surat-surat itu aku tulis dengan sepenuh rasa, untuk
mengurangi rinduku, dan untuk mengatakan apa yang tak bisa dikatakan.
Namun, surat-surat itu membuatku merasa semakin jauh
darinya.
Jauh hingga
kemarin, aku tidak bisa menulis lagi untuknya. Dua kali aku coba dan aku tidak
bisa menyelesaikan satu paragraf.
Ya, ini artinya,
aku sudah harus berhenti. Dia tidak lagi bisa membuatku menulis.
Sayang sekali,
padahal aku menikmati menulis surat untuknya. Setelah sekian lama aku tidak
bisa menulis surat dengan begitu mudahnya.
Pada akhirnya,
korespondensi memang tidak pernah kekal. Aku terbiasa berhenti menulis untuk
seseorang yang padanya ingin aku bagi duniaku, hariku.
Jadi,
berbahagialah kalian yang pernah menerima surat atau email dariku yang panjang,
cengeng dan membosankan.
Kalian pernah
jadi seseorang yang ingin aku bagikan dunia dan hariku. Kalian pernah sangat
spesial di hatiku. Pernah, meski sebentar saja atau agak lama, dan aku sungguh
menikmati menulis surat atau email itu untuk kalian.
Terima kasih..