Banda Aceh- Bonn, catatan duapuluh empat jam diperjalanan
Hilangnya pesawat Malaysia Airlines sabtu dini
hari minggu lalu, membuat bulu kuduk saya merinding. Jumat siang (7.3.2014)
waktu Bonn, saya baru tiba dengan selamat dari perjalanan panjang hampir 24
jam, Banda Aceh-Bonn. Perjalanan ini sebagian besar dihabiskan di atas pesawat,
berganti pesawat dan menunggu di lima bandara. 24 jam yang sungguh sesuatu itu
berbekas di kepala saya, what if, pesawat saya yang hilang?
Saya
berangkat dari Sultan Iskandar Muda airport hari kamis sore, dengan AirAsia.
Setengah delapan malam saya tiba di LCCT, ngambil koper saya yang beratnya 29
kg, satu ransel 45 liter dan satu tas yang isinya baju ganti dan peralatan
mandi in case kalau terjadi delay, koper saya nyelip, atau celana saya basah,
setidaknya saya bisa survive buat dua hari tanpa harus bongkar koper.
Setelah itu saya memutuskan naik taksi buat pindah ke KLIA,
pengalaman berangkat dari Bonn-Banda Aceh, saya hampir pingsan mengangkat koper saya naik ke atas bis,
ditambah ransel dan tas yang menggantung di pundak. Kebetulan adek saya tercinta,
menghadiahi 100 ringgit buat beli bonbon hehe. Taksi dipesan di dalam, tarifnya 40,26 RM.
Agak gimana gitu, membandingkan ongkos taksi dan ongkos bis yang hanya 2,5 RM. Ternyata keputusan
ini sangat tepat, waktu saya keluar bis yang dari LCCT ke KLIA, kosong dan
gelap. Pasti harus menunggu penumpang lagi, sementara saya sudah harus check in
karena penerbangan saya pukul 23.30.
Wak Jo namanya, supir taksi saya malam itu. Taksi di LCCT
naiknya dari depan Cafe beans.Sepanjang perjalanan yang hampir 15 menit, wak Jo bercerita tentang dirinya,
mendoakan kebahagiaan saya, dan memberikan siraman rohani tentang hidup di
dunia yang hanya sementara. Malam itu, di dalam taksi, surat Al-Ashr dibacakan
dan dikupas tuntas pesannya untuk saya. Sungguh damai hati saya di dalam taksi
itu, semua resah menguap, ada Allah Swt menemani dalam perjalanan saya kali
ini.
Ketika sampai di KLIA, saya langsung check in. Turkish Airlines malam itu berkoloborasi dengan Malaysia Airlines menuju
Istanbul. Kenapa saya naik Turkish Airlines? Pertama, karena pas beli tiket, saya
bisa pakai debet card, karena tidak punya credit card. Tiketnya juga paling
murah. 640 euro pp, dan dalam proses tukar tanggal, sangat simpel. Dua kali
saya reschedule tiket saya, pertama pas mau berangkat saya re-schedule di
bandara Koeln, kena 100 euro. Pas mau balik saya reschedule via telpon melalui
kantor mereka di Jakarta, kena 100 euro lagi dan semua beres dengan cepat.
Istanbul-Koeln |
Saya salat dan meluruskan kaki di musala KLIA sebelum
boarding. Tidak lama menunggu penumpang dipersilakan naik ke atas pesawat. Semua kursi di pesawat ini penuh. Saya melihat banyak bayi dan balita dalam perjalanan
sebelas jam ini. Pramugari memasang tempat tidur bayi di dinding pesawat. Kali
ini disebelah saya duduk seorang profesor perempuan yang baru selesai mengajar setahun di ITB. Si
ibu sangat ramah dan bepergian bersama suaminya. Saya merasa nyaman duduk
dengan si ibu yang ternyata sangat menyukai Indonesia.
Satu lagi yang saya suka dari Turkish Airlines, makanannya
enak, pas di lidah dan pastinya halal. Pilihan filmnya banyak dan
koleksi lagunya hanya berbahasa Turki. Saya menonton satu film untuk mengundang
kantuk. Dari balik kaca jendela saya melihat kelam malam, lampu-lampu kota yang
keemasan, kerlap kerlip lampu kapal, dan sayap pesawat saya yang berwarna perak.
Jam lima pagi pesawat mendarat di Istanbul.
Banyak sekali penumpang yang transfer penerbangan di Istanbul. Setelah masuk
bandara, saya langsung mencari tempat salat, mudah sekali menemukan mesjid di
bandara ini. Saya salat subuh dan kembali meluruskan kaki. Setelah itu saya
berjalan-jalan melihat duty free. Pengen ngopi tapi saya tidak punya uang
turki. Mau nukar, money changer tidak kelihatan. Lalu saya berjalan-jalan dan
melihat turkish delight, dodol turki, yang menggunung dan boleh dicoba gratisan
di Duty free di Ataturk airport ini. Berhubung lapar, saya betah juga ngemil
dodol. Akhirnya, saya tidak bisa menahan diri membeli dodol ini hahaha. Harga barang di duty free
ini dalam euro, jadi tidak harus menukar
uang.
Dodol Turki yang bikin saya betah nongkrong di Duty Free Ataturk Airport |
Tiga jam menunggu,
saya kembali boarding pesawat saya ke Koeln. Kali ini, saya bertemu lagi dengan
seorang bapak Turki yang menyapa saya dengan ramah di atas bis yang akan
membawa kami ke pesawat. Sekali lagi, si Bapak membacakan surat Al-Ashr dan
mengupasnya dengan tuntas buat saya. Dia berpesan supaya saya selalu sabar
dalam menjalani hidup. Si Bapak ini memaksa membawakan tas saya dan menemani
saya hingga ke tempat duduk. Sekali lagi, saya merasa sangat damai, Allah Swt
masih menemani saya dalam perjalanan ini. Lalu mulai terpikir, ada apa dengan
surat Al-Ashr, kenapa surat itu disampaikan kepada saya oleh dua orang yang
tidak saya kenal?
Dua jam kemudian saya tiba di Koeln. Proses pemeriksaan
paspor dan visa berjalan lancar. Lalu ketika saya menunggu koper, saya melihat
ada sekitar enam polisi berdiri di depan pintu keluar. Mereka secara random
meminta penumpang membuka koper mereka dan memeriksa barang bawaan. Tiba-tiba
saya teringat ada asam sunti, keumamah, dendeng, dan kue boi dalam koper saya.
Pasti repot juga menjelaskan tentang benda-benda berharga itu dalam bahasa
Jerman. Saya lalu berdoa, membaca ayat kursi dan semua doa kemudahan agar
mereka tidak meminta saya berhenti dan memeriksa koper saya. Alhamdulillah saya
lolos, sempat bertukar pandang sama pak polisi, tapi sepertinya lidahnya kelu
sehingga tidak bisa menyuruh saya berhenti.
Saya masih harus naik bis 45 menit menuju Bonn. Ternyata
bisnya sudah mau jalan ketika saya keluar dari airport. Saya ketinggalan bis
dan harus menunggu setengah jam lagi. Harga tiket bis, 7.8 Euro, tapi karena
saya punya student tiket hanya membayar 2.8 Euro. Sejam kemudian saya tiba di
Bonn. Saya harus sekali lagi naik bis menuju rumah. Kali ini, perjuangannya
adalah kembali mengangkat koper naik turun bis. Hanya saja, kali ini saya tidak
terlalu khawatir. Bonn penuh manusia-manusia baik hati. Koper saya langsung
disambut ketika saya mau turun dari Bis. Lalu langsung diangkat ketika saya mau
naik bis lagi. Ya Allah, kenapa di Bonn, bukannya di Indonesia atau Malaysia,
saya merasa tidak terlalu khawatir bepergian sendirian dengan koper yang besar?
Mengapa mereka lebih suka menolong? Pertanyaan itu membuat saya terus berpikir.
Ketika membuka pintu kamar, saya disambut dengan kamar yang
kosong. Air mata tiba-tiba turun. Sepinya, tidak ada siapa-siapa, dan
perjuangan akan kembali dimulai.
Pagi sabtu, saya membaca berita hilangnya pesawat Malaysia
Airlines. Begitu banyak manusia yang saya temui dalam perjalanan saya, menunggu
di setiap airport, siap untuk terbang membelah benua. Lalu terngiang-ngiang
percakapan tentang surat Al-Ashr dengan dua orang asing yang saya temui. Hidup
ini hanya sementara, Allah Swt yang berkuasa atas segala sesuatu, dan sungguh
nikmat yang sangat besar saya bisa tiba kembali di Bonn dengan selamat.