November dalam ingatannya
Sepanjang sejarah hidupnya, belum pernah dia seperti itu.
Dia bukan seseorang yang tahan duduk berjam-jam memandang layar komputer. Dia
bukan pula seseorang yang memiliki jiwa kantoran.
Entah kenapa, mungkin juga karena alasan yang sangat kuat,
dia mendapati dirinya berjalan keluar kantor saat langit sudah gelap. Dingin
sepertinya tak patuh pada jaketnya dan kali ini, dia lupa membawa sarung
tangan.
Lampu bis berkelap kelip dalam pandangan matanya,
meninggalkan begitu saja dirinya yang tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan
uap, ketika menghela nafas pilu. Ketinggalan bis, artinya paling tidak harus
sepuluh menit menunggu di halte dalam semua perasaan campur aduk. Apel sebuah,
sudah habis ketika perjalanan. Tinggal coklat yang mengganjal lapar yang sudah
dari tadi menggoda.
Pulang, nasi belum ditanak, udang belum dikeluarkan dari
freezer, dan terlebih hatinya belum dihangatkan untuk mengusir semua galau.
Menunggu sambil mengingat setiap pagi ketika dia menembus kabut. Bahkan mandi
sudah jadi tantangan awal sebelum perlahan mengenakan berlapis pakaian yang
membuatnya berhati-hati menghitung waktu agar bisa tiba tepat waktu.
Hidupnya sekarang seperti itu, mendapati dirinya duduk di
bis sambil memandang daun yang berguguran dan beradu tatap dengan mata-mata
yang berwarna menjadikannya merasa terasing.
Cuma, semangat masih berkelimpahan. Tekat tak ada habisnya.
Perjuangan ini tak seberapa, masih banyak yang harus disyukuri. Sebab itulah,
kadang dia mendapati dirinya bersenandung atau tersenyum memandang langit sambil berlari mengejar bis.