satu kota lagi
Sudah malam ketika saya berbincang dengan ‘senior’ saya yang
duluan menuntut ilmu di kota itu. Ragu sedikit ketika membuka percakapan. Awalnya
saya tertanya tentang barang bawaan lalu
merembet tentang tempat tinggal. Berbagi beberapa kekhawatiran tentang satu
perjalanan lagi.
Saya takut merasa sendiri.
Kota yang asing tanpa teman,
benar-benar sendiri. Tak terbayangkan. Selama sejarah perantauan saya, teman
saya selalu banyak, khususnya teman Indonesia, lebih khususnya teman Aceh.
Teman Aceh ini sungguh bisa mengobati galau-galaunya
homesick. Hanya melihat atau duduk bersama teman-teman dari Aceh sudah sangat
membantu. Mendengar aksen dan bahasa yang karib itu, atau sekedar gaya bercanda
yang terbiasa, terbukti membuat saya lebih baik. Bonusnya sekali-kali bisa
mencecap masakan khas, bumbu yang membuat terkenang tentang sebuah rumah dan
keluarga.
Maka, nasehat untuk ‘gaul’ dan membaur, selalu saya tepikan.
Saya ya tetap saya, tanpa bauran dan celupan. Saya hanya ingin merasa nyaman,
merasa dekat, dan merasa tidak sendirian meski jauh.
Alhamdulillah, menurut cerita senior saya ini, akan banyak
teman-teman sebangsa dan sekampung halaman. Verruct oder, jauh-jauh pergi lalu
mencari sesuatu yang ditinggalkan, tapi hanya seperti itu yang terasakan..