salam-salaman :)
Minggu lalu, saya sangat senang, akhirnya saya bisa
bersalaman dengan orang yang sangat spesial. Rasanya kalau dipikir-pikir, gak
mungkinlah bisa. Mengingat, menimbang, dan seterusnya, saya ini siapa, dan
beliau itu siapa. Namun, langkah dan pertemuan itu sudah ada yang atur.
Alhamdulillah, saya bisa salaman dengan beliau, dengan jari terlunjuk terbalut
kasa dan plaster, uh, tak terbayangkan. Mungkin ini salah satu hikmah
bertelunjuk luka, bisa salaman dengan si Bapak. Kata teman saya, saya gak cuci
tangan seminggu karena salaman sama si Bapak. Segitunya ya? Iya segitunya dan tetap
saja tak bisa alur pikir saya
menelaahnya, tak sampai ke sana, kok bisa? Mana mungkin? Ah, jadi lebai. Ya,
segalanya mungkin, Terjadi maka Terjadilah.
Jadi ingat waktu saya salaman sama satu orang itu. Salam
biasa saja, diantar pulang ke rumah, setelah jalan-jalan mutar-mutar Banda
Aceh. Pamitan, dia mau pergi lagi gak tau kapan balik. Salam-salaman ini jadi
aneh waktu dia menarik tangannya dan meletakkan tangannya di dahi saya. Kaget.
Berani-beraninya dia, mau marah, eh kok malah grogi, gak jadi marah deh. Menurut saya (dulunya) salam model gini itu cuma
ke orang tua, saudara yang lebih tua, bapak-ibu guru, itu saja. Lainnya, sorry
dorry, apalagi dulu saya agak gimana gitu ngeliat istri salaman ma suami,
hehehe.. Rasa hormatkan gak harus ditunjukkan dengan salaman. Salaman sama presiden
aja gak segitunya. Nah lho!
Ah, ternyata saya kena batunya, sejak insiden
salaman gak jelas maksud dan tujuannya itu, suka malu sendiri kalau ngeliat
istri yang diantar suaminya trus salaman. Hahaha, kebayang insiden itu. Halah,
ya semoga, tidak lama lagi, kita salaman seperti itu ya, didepan hadirin
hadirat dan bapak penghulu.. bahasanya ini lho.. penghulu..wkwkwk.. amiiin..