makan yuuk !
Sebelum berangkat merantau lagi, halah bahasanya, ibu saya
berpesan saya jangan jajan sembarangan. Kalau ‘gak sempat’ / ‘malas’ masak,
kalau mau beli makan harus lihat-lihat dulu tempatnya. Ibu saya berpendapat
makanan ‘rumah’ jauh lebih sehat dibandingkan makanan beli.
Sekali-kali saya masih makan ‘pecel ayam’ yang warna
minyaknya sudah gak jelas lagi. Kadang saya berharap ada keajaiban, ketika
ngintip ke wajannya si Bapak, warna minyaknya seperti warna iklan minyak goreng
di TV, tak akan pernahlah.
Kadang kalau sudah sangat-sangat bosan membeli makanan, baru
saya turun ke dapur. Meski Cuma telur dadar, ikan sarden, atau kalau pengen
udang, memang lebih nikmat. Meski excuse saya, buat diri saya, bahwa selagi
masih di sini, puas-puasin sarapan bubur ayam, dinner pecal ayam, dan makan
siang di Warung Padang.
Satu lagi yang paling parah, si mas tukang bubur langganan
saya, ember cuci piringnya cuma dua. Airnya gak diganti-ganti habis cuci
mangkok dan sendok segambreng-gambreng. Namun, mungkin itulah yang membuat bubur ayamnya semakin
lezat dan maknyus. Kalau mau bungkus, si mas pake stryrifoam, ogah saya
menambah sampah yang sulit diurai itu. Lagian dengan hanya menggunakan dua
ember air untuk mencuci, bukankah si mas sudah ikut mengkonservasi air? Hahaha
Sungguh, dilema, antara ramah lingkungan dan ramah sekali.
Bagaimanapun, saya pasti akan merindukan bubur ayam, pecel
ayam, dan warung padang langganan saya. Sebagian kenangan akan jakarta yang
tercecap lewat lidah.