auf wiedersehen Uci
Ketika sudah duduk di Damri menuju Gambirpun, air mata saya
masih turun pelan-pelan.
Lambaian tangan Uci di depan Gate, sesaat sebelum masuk,
makin membuat air mata saya membanjir.
Empat tahun tidak berjumpa, seakan tak berjarak. Perantara
email dan skype menuntaskan semua cerita dan pembicaraan. Jadi kenapa saya
mellow sangat ketika berjumpa dengan Uci?
Mungkin saya bersedih karena Uci lebih percaya dengan
mimpi-mimpi saya yang absurd ketimbang saya yang punya mimpi. Sebaliknya saya
juga percaya mimpi-mimpi gilanya yang Insya Allah akan jadi nyata.
Sibuk menerka-nerka, dimana nanti dan kapan kami akan
bertemu lagi. Apakah di belahan benua sana, atau di pulau kecil itu, entahlah.
Biarlah keyakinan yang mengantar perjumpaaan itu, seperti keyakinan uci bahwa
kami akan bertemu lagi sebelum saya merentang jarak lebih jauh darinya.
Menerawang masa depan, dalam balutan doa, tetaplah menjadi
kuat, tetaplah menjadi tegar, dan mari berjalan bersama menjemput impian.