Laptop saya dan dia
Pagi itu dia tak bisa dibangunkan. Meringkuk dalam hening,
lampunya berkedip-kedip sebentar.
Saya duduk di sampingnya, menyentuhnya pelan. Baru saja
menghapus debu yang tiba-tiba terlihat begitu jelas di permukaan. Memainkan ujung jilbab dan
menatap ransel yang sesak oleh beberapa potong baju yang dijejal dengan manis. Siang itu saya
harus beransel dan berkendara, esok harus menghadiri.
Mengapa harus pagi ini? Saat saya tak bisa
menekan nomor itu dan berbicara. Kenapa tidak seminggu lalu, ketika bahkan
tengah malampun saya bisa bertanya atau menyapa.
Mengapa harus pagi sebelum satu pagi ketika saya tidak bisa
seperti itu lagi.
Saya memutuskan membiarkannya tetap terlelap. Beberapa kali
saya membangunkannya tapi sia-sia saja. Biarlah saya pergi dulu dan semoga dia
telah pulih ketika saya kembali.
Lalu seperti dugaan saya, dia terbangun dengan
senyum paling indah ketika saya kembali. Meski ransel saya semakin berat oleh hati
yang lelah menjelajah waktu dan ruang.
Gelap bukan berarti semua telah berakhir, hanya saja, butuh
waktu untuk merasakan semua perasaan dan membiarkan semua berlalu dengan
sendirinya.
Bahkan galau itu juga terasakan oleh sebuah laptop yang tersangkut ceritanya..