balada pejalan kaki
Salah satu mata kuliah favorit saya waktu kuliah master
adalah Urban Environmental Management. Saya terkagum-kagum dengan proyek-proyek
pengelolaan lingkungan perkotaan yang sangat inspiratif. Contoh-contoh yang
diberikan profesor saya diambil dari kisah-kisah sukses pengelolaan wilayah
kota yang ada di seluruh dunia. Beberapa memang dilakukan di Adelaide dan kami
kunjungi dalam kunjungan lapangan yang mobilnya disupiri sendiri oleh si Bapak.
Sebenarnya saya teringat kembali ke mata kuliah itu karena
salah satu pokok bahasan tentang public transportation untuk daerah perkotaan,
termasuk penyediaan ruang bagi pejalan kaki.
Tadi pagi saya melihat sebuah video tentang seorang ibu yang
memarahi pengendara motor yang mengambil hak pejalan kaki yang berkendara di
atas trotoar. Trotoar yang lebarnya tak seberapa itu penuh dengan berbagai
macam barang yang mengganggu sekali. Mulai dari dagangan, warga yang duduk
mejeng-mejeng, pot bunga segede gaban dengan pohon penuh duri, kontur trotoar yang
tak mulus, sampah, kursi, ah kalau di daftar mungkin bisa beberapa halaman
panjangnya.
Bahkan tragedi yang terjadi minggu lalu, pejalan kaki yang
sudah berjalan di trotoar pun masih saja dapat mengalami kecelakaan yang
tragis.
Ketika sebuah kota besar seperti Jakarta, yang masih belum
memiliki sistem transportasi publik yang baik, setidaknya memberi ruang yang
aman untuk pejalan kaki. Ya, kalau terlalu sulit berebut kenderaan umum atau macet,
masih ada pilihan berjalan kaki. Lalu lebih baik lagi kalau ada tombol di
setiap lampu lalulintasnya yang bisa berkelap-kelip hijau dan merah agar
pejalan kakinya nyaman menyeberang jalan, bukan sekedar zebra cross yang pudar
warnanya.
Sebagai pejalan kaki, saya selalu merasa was-was, takut
ditabrak, takut jatuh tersandung, takut terpeleset, takut kejedut pot, takut
menyeberang jalan. Masih saja takjub melihat pengendara sepeda yang tak gentar
mengayuh sepedanya di tengah lalulintas yang crowded. Entah berapa lama lagi
mereka harus menunggu jalur sepeda agar bisa bersepeda yang aman.
Semua perilaku masyarakat yang baik untuk ramah lingkungan
seperti menggunakan kenderaan umum, berjalan kaki dan bersepeda tak didukung
dan disemangati. Padahal bukan hanya polusi udara dan kemacetan yang bisa dikurangi,
kita bisa menghemat BBM yang akhirnya menghemat uang yang bisa dibelanjakan
untuk sektor pendidikan atau kesehatan.
Buat saya, semua yang saya pelajari dalam mata kuliah itu,
hanya seperti mimpi. Kini setelah mengecap kehidupan urban yang sesungguhnya,
saya semakin mengerti, urban environmental management itu hanya teori
untuk Indonesia. Mimpi yang terlalu
indah bahkan dalam keadaan tidur.