menjadi ibu guru
Saya mendengarkan celotehan kedua teman saya sore itu. Nita,
logat sundanya, kental. Terasa, sejuk udara sukabumi dan gurami goreng yang
sedap menggugah selera di tengah saung. Sebentar kemudian, hpnya bergetar,
panggilan dari ibunya. Kali ini, teringat sambutan hangat, pada sebuah kampung
yang tersembunyi, ketika kenduri maulid, dan hidangan berlimpah, kue yang
terasa manis di hati. Bahasa ibunya begitu manja merayu, tak akan pernah hilang
meski hanya sekali-kali pulang.
Pipit tertawa lepas, sesekali menyeruput sanger dinginnya. Ceritanya
tak kalah banyak. Kapan terakhir kami duduk bertiga seperti ini?
Pelan cerita mengalir, menerobos bilangan masa. Momen yang
sangat tepat untuk berkumpul kembali. Tujuh tahun yang lalu, bencana itu yang
mempertemukan kami untuk bekerja bersama. Pekerjaan yang menyenangkan, bermain
dan belajar bersama anak-anak korban tsunami. Kebetulan kami bertiga ditempatkan
di lokasi yang sama, barak Lhoong Raya. Barak pengungsi yang cukup banyak menampung
anak-anak yang selamat dari tsunami.
Sebelumnya saya tidak mengenal mereka, lalu datang hari-hari
yang tak pernah saya lupakan. Mengajar bersama, bermain dan menjadi rekan
sejawat. Menjadi guru tak terlalu bergengsi saat itu. Saat banyak NGO
menawarkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih heroik, kami bertiga duduk di
sekolah, bernyanyi dan bermain. Hari-hari yang gerah dan berdebu. Murid datang
dan pergi semaunya dengan cerita-cerita yang terlalu sedih untuk didengarkan.
Seminggu sekali pipit membawa gunting kuku, ketika jam
istirahat, dipanggil satu per satu anak-anak untuk dipotong kukunya. Tak lupa
dia membawa sapu tangan untuk menyeka hidung anak-anak yang bersinar-sinar
ketika musim flu singgah di barak pengungsi.
Lalu saya ada di sana. Di tengah kelas enam, berbaring. Mata
memandang langit-langit. Mulut terkunci. Anak-anak mengerubungi saya, membujuk
merayu sang ibu guru. Sebelumnya untuk keseribu kali, mereka terlalu sibuk
dengan hal-hal selain dengan apa yang saya jelaskan tentang pelajaran kami hari
itu.
Lain waktu saya duduk di pojok kelas, diam seribu bahasa karena
mereka tak perduli pada apa yang saya ajarkan. Sungguh guru yang aneh saya waktu
itu, saya tidak bisa marah, saya tidak membentak, hanya diam membisu hingga Pipit
menghampiri dan mengambil alih pelajaran. Saya tetap diam meredakan emosi dan
kemudian kembali cair dan tegak memegang kapur, siap menjadi seorang ibu guru
kembali.
Anak-anak kelas enam itu sungguh sesuatu, mereka tertawa
ketika saya pulih hingga akhirnya saya tak bisa menahan tawa.
Sore ini, kami seakan terlempar lagi ke masa itu. Kala hanya
ada mimpi dan harapan. Teman-teman saya yang sangat spesial, yang dipertemukan
pada masa-masa yang penuh perjuangan. Dimana mereka anak-anak kita itu? Semoga
suatu saat kita bisa bertemu mereka lagi dalam senyum, entah dimana..