Menejer Kami


Kemarin saya bertemu dengan teman SMP saya. Bukan sesuatu yang aneh sebenarnya, mengingat dunia ini cukup sempit. Setau saya dia tinggal di Jakarta, setau dia, saya di Pulau dan bekerja. Ya, agak-agak jarang juga ngeliat cowok cakep di Pasar Buah Peunayong. Waktu saya perhatikan dengan seksama, ternyata dia teman SMP saya.  Saya kaget dia juga kaget. Terakhir kami bertemu waktu resepsi pernikahannya dua tahun yang lalu.

Lalu saya diperkenalkan dengan istri dan anaknya yang menunggu di mobil.

“Dek, kenalin ini menejer sepakbola kami dulu waktu SMP..”

Saya tertawa, buat dia, saya masih seorang menejer klub sepakbola. Saya suka mendengarnya, seakan tertarik lagi ke masa lalu. Sudah lama sekali. Dia tidak perduli dengan semua yang udah saya raih, saya ya si menejer itu. Bahkan kalau saya sudah jadi nenek2, saya yakin saya masih akan diperkenalkan seperti itu.

Kalau dipikir-pikir, kenapa saya yang perempuan, tidak mengerti bola, tidak hafal nama klub bola, apalagi nama pemain bola bisa diangkat jadi menejer? Saya curiga, mereka sebenarnya tidak pernah menganggap saya sebagai perempuan. 

Waktu SMP kami punya dua klub sepakbola di kelas. Jumlah cowoknya pas sekali untuk dua klub. Bahkan teman saya yang agak-agak kemayu terpaksa ikut kalau tidak jumlah pemainnya tidak cukup meski dia lebih sering duduk di pinggir lapangan dengan saya.

Seingat saya, tugas saya Cuma menemani mereka main bola di Lapangan Blang Padang tiap sore dan mendengar cerita-cerita tentang pertandingan bola tanpa mengerti sebenarnya sepakbola itu seperti apa. Saya hanya menyukai semangat mereka ketika berbicara tentang bola. Strategi mereka jika akan bertanding. Pembagian posisi di lapangan yang bisa dinegosiasikan dan yang paling penting, mereka tidak perduli mereka menang atau kalah. Pokoknya bermain saja dengan bersungguh-sungguh. Tidak pernah tawuran karena masalah bola. Mungkin itu namanya semangat dan passion.

Bahkan karena saya menejer, ketika mereka memesan baju seragam, saya juga ikut, dengan nomor punggung dan nama saya tertera di kaos tersebut. Saya sampai punya koleksi tas dan kaos bola melebihi koleksi mereka. Tidak ada perbedaan gender, buat mereka saya bagian dari mereka.

Semua itu sudah lama sekali, saya sudah melupakan saya yang itu, saya yang seperti itu. Pertemuan-pertemuan yang tak terduga dengan sahabat lama membuat kita bertemu dengan diri kita yang dulu dikenalnya. Meski kita sudah terlalu banyak berubah dan semakin dewasa. Saya kangen diri saya si menejer sepakbola. Ternyata pernah satu ketika saya menjadi seorang anak baru gede yang bahagia dan tak begitu labil. Hahaha..

Popular posts from this blog

Interview Masuk SMP

Lelaki tempatku bercerita

My ten years challenge