Pemberdayaan Ibu-Ibu PKK
Tanggal merah kemarin, saya tidak pulang. Saya diajak ketemu
ibu-ibu di tempat kerjaannya Wiwin. Gampong yang ternyata amat sangat cantik
dengan mangrove, terumbu karang, dan pantai pasir putihnya. Saya memang sudah
beberapa kali ke gampong itu tapi tidak pernah ketemu penduduk gampong atau
melihat langsung detak hidup gampongnya.
Wiwin membawa saya
melihat sekilas gampong itu, sebelum kami ke rumah keuchik atau kepala desanya.
Wiwin sudah buat janji dengan tiga ibu-ibu untuk sesi wawancara saya. Ceritanya
saya diminta Wiwin ngebantuin menulis proposal untuk pemberdayaan ibu-ibu. Kali
ini untuk kegiatan pembuatan sabun. Sebelumnya saya menelpon adik kelas saya
yang jebolan teknologi pertanian, tanya ini itu soal pembuatan sabun. Saya cuma
ingin mendapat gambaran apakah kegiatan ini bisa dilakukan ibu-ibu karena hasil
searching-searching internet sepertinya agak ribet juga cara membuat sabun.
Akhirnya kami
disambut dan disambit dengan ibu-ibu itu. Ibu-ibu PKK, saya sampai terharu
biru, ternyata masih ada kegiatan PKK itu di Indonesia. Ingat saya itu jaman
mama saya dulu PKK itu sangat eksis. Saya diperkenalkan sebagai “ibu sari” yang
bekerja di kantor “anu” nama kantor saya yang sangat beken itu. Saya protes
sama Wiwin, kenapa saya dipanggil ibu? Menurut Wiwin semua yang kerja
dipemerintahan kalau perempuan dipanggil ibu dan kalau laki-laki dipanggil
bapak.
Mulailah acara
ngobrol-ngobrol saya, pertanyaan-pertanyaan yang sederhana hingga yang mereka
sampai mikir buat jawabnya. Salah satu pertanyaan saya yang susah dijawab itu
“Apa cita-cita ibu-ibu berkaitan dengan kegiatan pembuatan sabun ini?” Mungkin
sudah lama ibu-ibu ini tidak ditanyakan cita-citanya. Jadi mesti mikir dulu
buat ngejawabnya.
Kesan saya sangat
positif bertemu dengan ibu-ibu ini. Penuh semangat, antusiasme, dan mau untuk
belajar hal-hal baru. Sebagian besar mereka tidak bekerja, tapi mereka sangat
aktif dan memiliki usaha sampingan cattering dan penginapan untuk turis-turis
yang berkunjung ke gampong itu.
Sebentar saja saya merasa sudah bisa menulis dengan mudah, saya melirik Wiwin
yang mukanya kemerahan digoda ibu-ibu. Sepertinya dia sudah sangat akrab dengan
ibu-ibu ini. Siang itu Wiwin membawa saya ke dunia pekerjaannya yang memang
bersentuhan langsung dengan masyarakat. Setelah pamit, Wiwin menjawil saya
dengan satu pertanyaan,
“Kenapa pemerintah daerah tidak punya program-program kecil yang
benar-benar untuk pemberdayaan masyarakat? “
Saya tau kemana
arah pertanyaan itu, dunia kerja kami memang berbeda, saya hanya tersenyum,
entahlah. Sepertinya pembangunan pagar, MCK, dan kawat beronjong lebih
menggairahkan dibandingkan produk sabun buatan ibu-ibu sebuah gampong.
Wiwin tidak
memaksa saya menjawabnya, kami berbicara tentang hal lain.
“Ceu, andai aku dilahirkan di gampong ini. Tamat SMA aku langsung kawin,
ah, pasti aku jadi salah satu ibu-ibu itu. Mungkin aku akan punya hidup yang
sangat berbeda, dengan rutinitasku mengurus keluarga dan kegiatan Pekaka
Pekiki.”
Wiwin tersenyum dan berkata,
“Mungkin Sari, mungkin..”